Wednesday, November 13, 2013

Balada TransJakarta

Tulisan ini saya persembahkan untuk saudara senasib sekendaraan, para pengguna jasa transportasi TransJakarta. Tulisan ini dibuat bukan untuk memprotes, menyindir, apalagi menghina pihak manapun. Sungguh, tulisan ini murni iseng belaka sebagai hasil dari kontemplasi selama berada dalam kondisi semacam meditasi saat menunggu diciduk oleh bis-bis besar itu.
Tahukah kalian bagaimana penampakan kalian tatkala menunggu bis berbahan bakar gas tersebut datang wahai para penumpang yang tehormat? Mungkin Anda terlalu sibuk merutuki keadaan atau masih memikirkan pekerjaan selagi menunggu, sehingga tidak sempat membayangkan wajah Anda sendiri. Lain halnya dengan saya yang tidak pernah sibuk memikirkan apapun, sehingga hal-hal yang tidak penting pun jadi kepikiran. Tapi baiklah akan saya tunjukkan saja bagaimana wajah antrian bis TransJakarta (TJ) pada jam-jam sibuk.
Lima menit pertama. Wajah masih oke, bedak masih rata, kepala dan badan masih goyang-goyang dikit ngikutin irama musik dari ear phone masing-masing. Bibir juga masih bisa senyum biar keliatan ikhlas naik TJ. Masih ada harapan bahwa hari ini akan jadi hari baik kita dalam hal transportasi. Harapan bahwa bis TJ yang kita tunggu-tunggu akan segera muncul sebelum antrian ini berubah jadi lautan manusia berbagai aroma.
Lima menit kedua, kendaraan yang ditunggu tak kunjung datang. Resah dan gelisah mulai hinggap. Pertanyaan “sanggup gak nih gue bertahan lebih lama lagi di sini?” Sementara semut-semut mulai terasa merambati kaki. Titik-titik peluh mulai menetas satu persatu di dahi, leher, punggung, tangan, dan kaki. Not to mention, in the armpit. Barisan yang tadinya renggang mulai merapat. Senyum mulai lenyap berganti garis datar di bibir.
Lima menit ketiga, bis gagah jurusan yang kita mau belum datang juga. Tambah kesel karena banyak bis yang lewat tapi cuma ngangkut penumpang jurusan tetangga sebelah. Penyesalan mulai muncul. “Akh, harusnya tadi gue keluar dari kantor lebih cepet. Atau “Harusnya tadi gue nunggu maleman aja pulangnya biar agak sepi.
Lima menit keempat. Bedak mulai luntur. Semut yang tadinya cuma merayap di kaki mulai merambat naik ke betis sampe dengkul, kesemutan kronis. Sementara crowd mulai makin rapat, keringet yang tadinya baru menyembul satu-satu dari pori-pori mulai meleleh di kulit. Belum lagi lelehan keringat dari tetangga sebelah, euuww!!
Lima menit kelima. Bis yang ditunggu nekat gak datang-datang. Di sinilah ujian kesabaran yang sebenarnya. Bibir yang tadinya datar, ujung-ujungnya mulai bergerak turun. Wajah kita menjelma sesuatu yang menakutkan, sangar, semacam senggol-bacok! Rasanya pingin marah tapi gak tahu mau marah sama siapa. Alhasil ada yang marah-marah sama petugas Transjak atau ke sesama calon penumpang yang entah bagaimana jadi sangat menyebalkan.
Lima menit keenam, petugas TransJak mengumumkan bahwa kemacetan parah terjadi di salah satu ruas jalan yang dilalui sehingga mengakibatkan bis datang terlambat. Beberapa orang mulai menyerah dan keluar dari antrian, mencoba moda transportasi lain semisal ojek atau taksi. Namun sebagai orang yang pantang menyerah (sebaiknya pikirkan kembali pilihan sikap ini), kita berusaha tetap tegak berdiri tak goyah dalam antrian. Lagipula tanggung, sudah terlanjur menunggu selama ini. Kalau mau menyerah sih harusnya dari tadi.
Lima menit ketujuh, menjerit, tapi hanya dalam hati saja. Pengen nangis tapi malu. Hanya bisa menggeram pelan.
Lima menit kedelapan. Mati rasa.
Lima menit kesembilan. Cari-cari alasan untuk tidak masuk kantor esok hari.
Lima menit kesepuluh. Bis datang. Tarik nafas panjang. Dekap barang-barang bawaan. Pasang kuda-kuda. Bersiap sikut-sikutan dengan sesama calon penumpang. Compete for your life!
******
Dua puluh menit kemudian...
Ting! Pemberhentian berikutnya, halte Pejaten. Perhatikan barang bawaan Anda dan hati-hati melangkah. Terima kasih.
Next stop, Pejaten shelter. Check your belongings and step carefully. Thank you.


LAPORAN

Aku duduk menunggu giliran. Petugas di depanku sedang memproses seorang ibu muda—sepertinya dari desa—yang melaporkan penjambretan. Bayinya terus menangis meskipun ia sudah menjejalkan puting susunya.

“Makanya lain kali hati-hati. Jakarta ini kota besar, banyak kejahatan. Kalo pergi-pergi tidak usah bawa banyak barang, apalagi sambil bawa anak begini. Repot kan?” kata petugas itu setengah memarahi. Matanya sesekali melirik ke arah payudara si ibu yang terbuka sebelah.

***

Akhirnya tiba giliranku.

“Apa yang ingin Anda laporkan?”

“Ayah saya hilang.” Aku menarik nafas panjang. “Tidak perlu menyalahkan dan menasehati saya. Saya sudah terlalu sering mendapatkannya dari Ayah.”

“Tolong. Cari saja dia.”


Note:
Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Tema: AYAH

Tuesday, November 12, 2013

Kopi Liong Bulan

Biasanya jam segini aku sudah di rumah. Tapi pria yang berbagi meja denganku di kedai kopi kecil ini membuatku betah menunda pulang.

Awalnya ia bertanya tentang kopi yang sedang kunikmati—kopi tubruk cap Liong Bulan tanpa gula. Menurutnya selera kopiku menarik. Dan obrolan pun mengalir dari sana.

Kutandaskan sisa kopi dalam cangkirku hingga ke ampas-ampasnya. Pria itu tertegun sejenak melihat wajahku sebelum akhirnya tersenyum jenaka. Ah, sial! Ia pasti menertawakan kumis ampas kopi di atas bibirku. Dengan malu aku berusaha meraih tisu, tapi tangannya menahanku.

“Biar aku saja.” Pria itu mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan bibirnya ke bibirku yang sedikit terbuka.


Note:
Tidak diikutsetakan dalam #FF100Kata karena lewat deadline.
Tema: AMPAS KOPI

Panggung Terakhir

Nengsi memandangi pantulan dirinya pada cermin rias sekali lagi. “Ini akan jadi panggung terakhirku di kampung. Besok aku akan pindah ke kota dan menikah dengan Kang Ipul.” Senyumnya sumringah.

Nengsi mendengar namanya dipanggil oleh pembawa acara. Riuh penonton, tepuk tangan, dan suara suitan sahut-menyahut menyambutnya di depan panggung. Ia pun naik ke panggung dengan jumawa, menyapa penonton yang langsung birahi begitu melihatnya. Begitu kendang mulai ditabuh, Nengsi menghentakkan pinggulnya sesuai irama kendang. Penonton mulai mabuk kepayang.

Seorang perempuan paruh baya memperhatikan panggung itu dari jauh. “Ini akan jadi panggungmu yang terakhir, perempuan sundal!” Dan ia membidik tepat ke tengah panggung.


Note:
Tidak diikutsetakan dalam #FF100Kata karena lewat deadline.
Tema: PANGGUNG

GANJIL

Lima laki-laki dan enam perempuan berdiri mengitari tanah merah berlubang yang menganga beberapa senti di depan pucuk sepatu mereka. Tangan-tangan mereka saling bergandengan. Beberapa bahu berguncang karena isak, beberapa yang lain berusaha tetap tegak.

Di dalam lubang itu terbaring sahabat mereka yang kemarin malam secara mengejutkan menemui ajal—ataukah ajal yang menemuinya?

Orang-orang bilang sahabat itu mati bunuh diri karena over dosis valium. Tapi mereka tahu bahwa si sahabat terpaksa meminum semua sedatif itu demi menahan hasrat untuk menghabisi nyawa mereka. Ia menemui ajal untuk membatalkan pertemuan ajal dengan sahabat-sahabatnya.


Sebelas orang itu tahu, dan karenanya merasakan sedih yang ganjil.


Note:
Tidak diikutsertakan dalam #FF100Kata karena sudah lewat deadline.
Tema: SEBELAS

Mari Kita Cari Makan

Seorang pengembara tiba di sebuah kampung di pinggiran kota. Ketika melintasi gunungan sampah, ia menemukan bayi merah di dalam kardus bekas mie instan di sana. Bayi itu masih hidup, ia tahu karena meskipun bayi itu tidak menangis, perutnya kembang kempis. Masih ada pula tali pusar pada perutnya itu.

Si pengembara merasa kasihan dan mengambil bayi malang itu lalu menggendongnya dengan satu-satunya kain sarung yang ia punya. “Kamu pasti lapar. Mari kita cari makan.”

Si pengembara mengetuk setiap pintu di kampung itu, tapi mereka menganggapnya orang gila. Ia lalu membawa bayi itu ke jembatan penyeberangan, mengharap iba dari orang yang lalu-lalang.


Note:
Diikutsertakan dalam #FF100Kata
Tema: BAYI

Friday, November 8, 2013

PENGAKUAN

“Aku sudah pernah hamil dan menggugurkan kandungan.”

“Waktu itu usiaku 25 tahun. Aku sudah melakukannya berkali-kali dengan lelaki ini—hanya dengan lelaki ini saja. Layaknya dua orang dewasa yang melakukan hubungan badan tanpa pernikahan, kami selalu melakukannya dengan hati-hati. Dia tidak pernah membiarkan benihnya membuahi sel telurku. Tapi barangkali Tuhan berkehendak lain. Aku pun hamil.”

“Dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Dia membayar semua biaya pengguguran itu. Bahkan dia bersedia menjemputku dari klinik dan mengantarkanku pulang ke rumah. Setelahnya, dia kembali ke istrinya.”

===

“Sayang, kamu masih perawan kan?” tanya lelaki yang baru menikahiku tadi pagi.


“Masih,” jawabku dingin.


Note:
Tema: Perawan


Wednesday, October 16, 2013

Alien Happiness

Hari ini aku berangkat ke kantor dengan mood super ceria sembari menenteng buku #SeriZodiak Kisah Orang-orang Sagitarius yang baru saja kubeli tadi malam. 

Tapi keceriaan itu tak bertahan lama karena aku tak bisa membaginya dengan orang-orang di kantor ini. Kekecewaan itu meleleh saat ada yang bertanya "Ayu Utami ini siapa?"
Aku pun terduduk lemah.

Seperti memiliki kekasih diam-diam. Bahagia ini harus kupendam.


Jakarta, 16 Oktober 2013


Tuesday, September 10, 2013

Malaikat Maut

Aku ingin mati, tapi tak punya nyali untuk bunuh diri.

Pernah aku membeli sekaleng obat nyamuk cair. Tapi hidungku sakit dan mataku berair saat aku mencoba mencicipinya. Jadi kaleng itu berakhir di kamar Mbok Sum yang banyak nyamuknya.

Aku pernah juga berpikir untuk loncat dari menara sutet. Tapi baru dua langkah, kakiku sudah gemetaran. Aku takut ketinggian.

Aku juga takut darah. Jadi mengiris pergelangan bukanlah pilihan.

Semalam malaikat maut datang membawa tali. Dan aku gagal menaruhnya di batang leherku.

“Aku ingin mati, tapi tak punya nyali untuk bunuh diri. Mengapa tidak kau bunuh saja aku?”


“Tugasku mencabut nyawa, bukan membunuh.”


Monday, September 2, 2013

Di Mana Semuanya Berakhir

“Di sana.” Kau menunjuk satu bintang di langit. Aku tak yakin bintang mana yang kau maksud, karena mereka begitu jauh dan alangkah banyaknya. Tapi saat aku bertanya dalam hati bintang mana yang kau maksud, tiba-tiba satu bintang berkelip, seperti memberi jawaban.

Itukah dia?

“Cantik sekali,” kataku yang terdengar seperti omong kosong, karena sebenarnya mereka semua terlihat sama dari bawah sini.

“Dulu, ia adalah wanita tercantik di muka bumi. Sekarang, ia menjadi bintang tercantik di langit. Bukankah aku sangat beruntung?” tanyamu.


Dan aku seketika tahu, di sinilah aku harus berhenti mencintaimu, karena kamu tak pernah berhenti mencintainya, meskipun ia telah tiada.


Friday, August 30, 2013

Wati

Wati menghambur keluar dari dalam rumahnya sambil berteriak-teriak. Tubuhnya yang agak tambun dibawanya berlari menuruni lembah. Kedua tangannya mengangkat rok lebarnya tinggi-tinggi hingga kemaluannya nyaris kelihatan. Wati memang jarang pakai celana dalam.

Wati terus berlari menuruni lembah menuju sungai. Cairan kental berwarna merah kehitaman mulai meluncur turun dari selangkangannya, merayapi paha dalamnya hingga ke betis. Wati semakin panik. Kini ia berlari sambil merenggangkan kedua kakinya. Air matanya mulai jatuh.


Begitu tiba di bibir sungai yang dangkal, Wati segera saja meloncat turun. Di sana Wati berjongkok sambil memeluk lututnya, menyelesaikan tangis ketakutannya, dan terus berdiam di aliran sungai hingga menstruasinya selesai.

Thursday, August 29, 2013

Kopi yang Hampir Dingin

“Kopimu sudah hampir dingin, Mas.” Terdengar suara istrinya yang lembut di belakang telinganya. Tapi ia sama sekali tidak bergerak untuk mengambil gelas belimbing berisi kopi yang ada di meja di sebelahnya. Ia hanya mengedip dua kali.

Lelaki itu ingin sekali menolehkan kepalanya dan melihat wajah istrinya. Bahkan ia ingin sedikit mengecupnya dan mengucapkan terima kasih untuk setiap gelas kopi yang istrinya sajikan setiap pagi dan sore hari. Tapi ia takut. Ia takut tak dapat menemukan wajah istrinya di sana. Ia takut itu hanya khayalannya belaka.

“Kopimu sudah hampir dingin, Mas.” Suara istrinya terdengar lagi. Kali ini diiringi semilir wangi melati.

Tuesday, August 27, 2013

CEMBURU

Ini sudah kali kelima perempuan itu mengibaskan rambutnya dan membasahi bibirnya yang sama sekali tidak kering, padahal belum genap sepuluh menit kami hadir di hadapannya. Wangi shampo dan parfum murahannya mencemari udara setiap kali ia bergerak. Dan yang kumaksud bergerak adalah memutar bahunya, menghentakkan kakinya, mencondongkan dadanya, dan menggerakkan pinggulnya. Ya Tuhan, hanya kau yang tahu mengapa lelakiku menyukai perempuan ini.

Tangan lelakiku mulai menyentuhnya. Tidak! Pegang saja aku, jangan pegang dia!

Lelakiku lalu mencium bibirnya. Jangan dia! Cium aku saja!

Lalu ia menyerahkanku kepada perempuan itu.


Si perempuan memekik bahagia melihatku, tangannya terulur menjemputku, kusambut dia dengan duri tajamku.

Monday, August 26, 2013

Toilet Wanita

“Eh, kalian tahu enggak sih kalau si Marni bakal dipromosikan jadi executive secretary?” kata seseorang.

“Masa sih? Dia kan baru dua bulan di sini! Kok bisa?” tanya seorang yang lain.

“Ya bisa aja lah. Emang kamu enggak tahu kalau si Marni ada affair sama big boss?” jawab yang lain lagi.

“Masa sih? Kurang ajar! Dasar perempuan jalang!”

Dan nada-nada nyinyir terus meluap dari mulut mereka.

***


Dia kelihatan sangat marah. Aku mengelus-elus dadanya yang bidang agar ia tenang. “Sssttt.... Sudah biarkan saja. Nanti mereka tahu kita di sini.” bisikku pada Ramon, si anak big boss, dari dalam salah satu bilik toilet.

Tuesday, August 20, 2013

AKU MEMILIH KECEWA

Jika seseorang yang kita kenal dihadapkan pada dua pilihan, antara melakukan sesuatu dengan kita atau melakukan hal lain dengan orang lain. Tentu kita berharap dia akan memilih kita. Jika ternyata dia memilih orang lain, kita pasti merasa kecewa. Dan jika dia memilih kita, kita tahu dia akan mengecewakan orang lain. Kecewa itu manusiawi.

Tapi coba kita lihat dari sudut pandang yang lain. Dia memilih untuk mengecewakan kita, bukan orang lain, barangkali karena dia merasa lebih dekat dengan kita daripada dengan orang lain. Dia merasa kita lebih bisa mengerti dan memaklumi dibanding orang lain. Jadi, dengan berlaku begitu, dengan mengecewakan kita, dia telah menyatakan bahwa level hubungan kita dengannya lebih tinggi daripada level hubungannya dengan orang lain. Apa kita masih perlu kecewa karenanya?

Ini mungkin terdengar bodoh. Atau mungkin ini memang pikiran yang bodoh. Mungkin ini hanya satu cara untuk menghibur diri dari rasa kecewa karena sebuah penolakan.

Bisa juga ini bukan apa-apa. Bisa saja ini tidak ada hubungannya dengan level hubungan or whatsoever. Mungkin masalahnya hanya sesederhana apa yang akan kita lakukan dengannya tidak lebih menarik dibandingkan apa yang akan dia lakukan dengan orang lain. Tentu saja kita tahu dia akan memilih yang mana. Masih mau kecewa?

Tanda tanya (?)

Obrolan Makan Malam

“Ayo dihabiskan nasinya. Kalau tidak nanti ayamnya mati,” kata Ibu.

“Tapi Bu, kita kan tidak punya ayam?” timpal Adik.

“Nanti ayam tetangga kita yang mati,” jawabku sekenanya.

“Bagus dong kalau ayam Pak Doger mati? Siapa tau kita kebagian barang sepotong dua potong? Lumayan kan buat teman nasi putih?” berondong Adik dengan mata berbinar-binar.

“Bangkai itu haram, Le! Kita tidak boleh makan bangkai binatang yang mati bukan karena disembelih. Sudah, sekarang diam dan habiskan nasimu,” kata Ibu.


“Ibu, Aku sering dengar istri Pak Doger mengomel dan memanggil suaminya binatang. Apakah kalau Pak Doger disembelih, dagingnya halal untuk kita makan?” tanya Adik.

Monday, August 19, 2013

Tentang Sebuah Cerita

Aku sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada dalam hati dan pikirannya saat ini. Kunyalakan sebatang rokok untuk menyembunyikan kecemasanku.

Ia membaca draft cerita itu tanpa ekspresi. Aku bahkan tidak yakin ia sedang membacanya. Jangan-jangan ia hanya menatap kosong kertas-kertas di tangannya.

Beberapa saat kemudian ia letakkan draft cerita itu di atas meja dan mulai menyalakan rokoknya sendiri. Apakah ia sedang menyembunyikan kegelisahan?

Setelah hisapan ketiga, ia mulai buka suara. “Ini hanya perasaanku saja atau memang jalan ceritanya familiar?” tanyanya dengan senyum setipis gerimis. Aku tak menjawab.

“Ini tentang aku, kan?” tanyanya lagi.

“Jadi, selama ini kamu benar-benar mencintaiku?”


Tuesday, August 13, 2013

Lembar Terima Kasih (Edisi Trip ke Indonesia Timur)

Tak terasa sudah enam bulan lebih berlalu sejak perjalanan saya melanglang buana ke arah timur Indonesia. Perjalanan yang luar biasa yang tidak mungkin terjadi tanpa dukungan semesta.

Ini adalah lembar ucapan terima kasih saya kepada orang-orang yang telah membuat perjalanan ini menjadi mungkin bagi saya. Dan teruntuk orang-orang yang saya temui selama dalam perjalanan yang telah banyak membantu atau sekedar mejadi teman jalan yang menyenangkan.

Terima kasih kepada:
  • Pemilik segala nyawa dan penguasa alam semesta.
  • Annastasia Puspaningtyas yang punya ide untuk travelling ke timur Indonesia dalam waktu satu bulan.
  • Fadillah Yuliasari, my lovely sister yang telah memberi dukungan tanpa keraguan sedikitpun atas keputusan gila yang saya buat dan tentu saja sokongan yang diberikan selama saya dalam perjalanan. I couldn’t do this without you.
  • Bartian Rachmat, my lovely brother yang juga mendukung habis-habisan keputusan saya dan tetap memberi semangat lewat telepon-telepon panjang di malam-malam yang juga panjang selama dalam perjalanan.
  • Anto Koboi Insap, my new idol yang telah memberi begitu banyak petunjuk dan membimbing saya tanpa bosan selama dalam perjalanan.

Lalu ada teman-teman selama perjalanan:
  • Chris (Austria) and Gustav (Spain). Thanks for all the crazy trip with motor cycle around Bali and long deep conversation in the middle of the night in Kuta beach.
  • Reza, Dody, Irwan, Ikhsan, Ijal, and Abdu. Thanks for accepting me in your group and for the near death experiences all the way up and down in Rinjani.
  • Yudha and her sister Ranny from Surabaya. Thanks for all your help and treat while we were in Gili Trawangan down to Mataram.
  • Pujia and her lovely family. Thanks for welcoming me in your lovely home in Sumbawa and for taking me to Sarkofagus and a cave (Liang). Well, the sarkofagus was disappointing but the journey was one experience. I’m really sorry I got sick when I was in your house, but your mom and your aunt took a really good care of me, I can’t say enough thanks for that.
  • Ibu Nani, Bapak Dahlan and the whole family in Moyo island. Thanks for accepting me in your home and treat me very well. Also to Lisa, thanks for taking me to a beautiful beach (Taman Wisata) in Moyo island. And for her mom, Ibu Halimah, thanks for letting me sit around in your shop almost all the time while I’m in Moyo. The hospitality in Moyo island was beyond my expectation.
  • Teguh in Calabai. Thanks for giving up your room for me, I really appreciate that. To Bang Chris and Bang Edi, thanks for all the knowledge, storries, and the most exciting experience during my stay in Calabai. Also to Fitri, Ditha, Dina, Om Cindalu, and all nice people in KOMPPAK and Gamping who have make my stay in Calabai unforgetable. Especially to KOMPPAK, please keep up your spirit to do all the great things. I know it won’t be easy but once there is a will, there will always be a way. I hope I can come back to Calabai in 2015 for the commemorate of 200 years of Tambora eruption, and this time I have to climb up there.
  • Adi and Boy, friends of Teguh, thanks for the “susu kuda liar” vaganza in Dompu and especially to Adi for the short chit chat we’ve had. I wish the best for you...
  • Seraina (Switz) and Daniel (Spain), thanks for the nice friendship we’ve had and all good talking all the way to Labuan Bajo from Sape.
  • Bapak Kepala Desa and his family in Komodo island, thanks for letting me stay for one night in your house. Also thanks to all Komodo island villagers for the super hospitality.
  • Sirine (Switz), thanks for sharing one room in Ruteng and also to two Germany guys for sharing the bemo cost to see the ricefield in Ruteng.
  • Fridus in Bajawa. Thanks for all the help in Bajawa, to show me the traditional village with full explanation and also for all the talks we’ve had. Also to your warm and kind family for accepting me in your house. I was really happy to stay there and really appreciate your hospitality. I wish I can come back there in 2014 for the big ceremony of your village, and maybe to climb up Inerie mountain. Hahahaha ....
  • Marcus in Moni, the cute switz guy with green eyes... Thank God we didn’t share the room, that was so close... Hahahaha ....
  • Mbak Dewi di Ende yang membolehkan saya tidur di kamarnya selama 2 malam. Mbak Nita dan mas Hadi yang selalu memastikan perut saya kenyang selama di Ende. Mas Andy yang juga menyediakan kopi-kopi dan ikan bakar. Terima kasih juga untuk tiket gratis ferry-nya.. ;)
  • Yutmen, my dearest host in Kupang. Thanks for the place and food and companion during my stay in Kupang. Terima kasih juga untuk bang Al dan keluarga yang juga menampung kami (saya, Anto, dan Cliff), memastikan perut kami selalu penuh dan menghidangkan kopi-kopi hitam yang nikmat.

Terima kasih sekali lagi untuk semuanya. I love you full! J


Monday, August 12, 2013

BUKAN DONGENG KANCIL

Kancil bisa mendengar Pak Tani mengasah pisaunya di halaman belakang. Suara bilah pisau yang beradu dengan batu asah itu terdengar seperti gesekan busur biola pada dawai yang menyayat hati.

Kancil menendang dan meregang berusaha melepaskan ikatan di keempat kakinya. Tapi Gagal. Pak Tani membelenggunya dengan rantai besi bukan tali. Pak Tani tidak punya anjing peliharaan yang bisa ia kadali. Dan ia diikat di atas ranjang bukannya ditawan dalam kandang ayam.

Kancil semakin ketakutan kala suara pisau yang diasah berhenti digantikan oleh suara langkah Pak Tani. Ia dapat melihat kilasan dongeng hidupnya lewat di depan mata. Kancil membatin, “Beginikah rasanya kalah?”

SALAH ASUHAN

“Jadi? Sudah berapa lama kamu mengkonsumsi pil itu?”


“Ya sudah sekitar satu tahun lah.”


“Sejak kamu mulai pacaran?”


“Iya.” jawabnya malu-malu.


“Rutin?”


“Rutin dong! Tak pernah alpa sekalipun.” jawabnya pasti.


“Tapi kenapa?” tanya sahabatnya gemas.


“Karena Ibuku yang menyuruhku,” jawabnya polos. “Sejak Ibu tahu aku mulai dekat dan pacaran dengan laki-laki, Ibu menyuruhku minum pil KB secara rutin.”


“Tapi kamu kan belum pernah berhubungan seks sama pacar kamu ataupun orang lain!” Sahabatnya semakin gemas saja. “Atau jangan-jangan sudah?” Ia mulai ragu dan memicingkan mata penuh selidik.


“Apa?” Ratna tersentak mendengar pertanyaan sahabatnya. “Kamu sudah gila apa? Aku masih perawan tau!” 



Kiamat Sugra

Terkadang, saat aku merasa seluruh dunia memalingkan wajahnya dariku, aku berharap bumi ini berhenti saja berputar. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku bukanlah poros dunia. Sekalipun otakku berhenti bekerja karena satu dan lain alasan, atau meskipun setiap helai otot dalam tubuhku menolak bergerak, bahkan bila paru-paruku berhenti menghirup udara dan jantungku berhenti berdenyut; bumi masih akan berputar. Dunia belum akan kiamat.

Kiamat ini hanya milikku sendiri. Hanya aku yang bisa merasakan gelegak panas lava dalam dada yang kemudian membuncah dan mengaliri tebing-tebing wajahku sebagai sungai lahar. Lalu ada gigil yang serupa gempa yang meruntuhkan segala prinsip dan pegangan hingga tak ada lagi yang tersisa. Banjir air mata, keringat, dan darah yang seperti berasal dari mata air zamzam, tak pernah mengering, tak berhenti membanjir hingga hidupku terbenam sepenuhnya. Aku habis. Aku kiamat.

Matahari tetap terbit dan tebenam seperti tak pernah terjadi apa-apa. Penyiar radio tetap ceria. Orang-orang tetap menyesap kopinya dan pergi bekerja. Sementara aku sedang 'menikmati' mati.

Tuesday, August 6, 2013

JENDELA-JENDELA

Ada sebuah rumah boneka yang cantik. Rumah dua lantai itu cukup besar untuk ukuran boneka. Satu keluarga boneka tinggal di sana. Ada papa, mama, kakak laki-laki, dan adik perempuan. Mereka semua tampan dan cantik, dan yang terpenting mereka tampak bahagia.

Aku suka mengintip ke dalam rumah mereka melalui jendela-jendelanya. Dari sana aku tahu bahwa kebahagiaan mereka palsu belaka. Mereka tidak benar saling menyayangi sebab orang yang saling menyayangi tidak mungkin saling membohongi. “Betapa menyedihkannya keluarga mereka,” pikirku.

Belum lagi surut kesedihanku, tiba-tiba ada sesuatu yang menghalangi cahaya masuk dari jendela kamarku. Sebuah mata yang sangat besar tampak mengintip di sana. 




Monday, August 5, 2013

Pesawat Kertas

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan yang tata letaknya berantakan. Ada rindu yang tak tersampaikan yang bikin kacau orbit ragam hati.

Meskipun berat, kucoba untuk beranjak dari peraduan. Kulempar pandang ke kelabunya langit Jakarta yang tampak dari pintu kaca lantai 22. Entah itu suara gemerisik daun yang dibuai angin, ataukah sebuah bisik yang merambat menembus pintu kaca? Nadanya persuasif dan datangnya dari arah balkon. Dengan tanya menggantung di kening, kuhampiri balkon yang jaraknya hanya lima langkah dari tempatku memintal mimpi.

Di sanalah, di balkon berukuran tidak lebih dari satu kali setengah meter, terdampar sebuah pesawat kertas.

Ah... Siapa gerangan yang mengirim pesawat kertas ini? Hatiku tak pelak bertanya-tanya. Sisi romantis dalam diriku sontak mengambil alih peran logika dalam situasi ini. Tak dapat kutahan bayangan tentang seorang pengagum rahasia yang diam-diam mengirim surat cinta lewat pesawat kertas. Adakah yang lebih romantis daripada perasaan yang dituangkan dalam bentuk huruf dan kata di atas selembar kertas; kertas yang kemudian dilipat di sana dilipat di sini hingga membentuk sebuah model aerodinamis; sebuah pengharapan kemudian ditiupkan ke moncong pesawat sebagai bahan bakarnya; lalu mengantarkannya kepada angin dan pasrah ke mana angin akan membawa terbang rasa di pesawat kertasnya?

Dengan khayalan tingkat tinggi kuhampiri pesawat kertas yang mendarat dengan sembarangan di balkon kamarku. Perlahan, dengan jantung berdebar dan darah berdesir, kuambil benda asing itu lalu hati-hati kubuka lipatan-lipatannya satu demi satu.

Oh, khayalanku langsung terjun bebas! Benda asing itu mungkin memang benar-benar datang dari luar angkasa. Belum pernah kutemukan surat cinta berisi simbol-simbol dan angka-angka yang menyerupai rumus persamaan matematika.

Sementara aku merutuki kebodohanku, tanganku membalik kertas itu dengan alami. Dan, di sanalah tertulis sebuah pesan yang aku sendiri tak yakin untuk siapa. Dua kata dan satu tanda baca: “miss me?


Note: Terinspirasi dari kisah nyata :)