Wednesday, November 13, 2013

Balada TransJakarta

Tulisan ini saya persembahkan untuk saudara senasib sekendaraan, para pengguna jasa transportasi TransJakarta. Tulisan ini dibuat bukan untuk memprotes, menyindir, apalagi menghina pihak manapun. Sungguh, tulisan ini murni iseng belaka sebagai hasil dari kontemplasi selama berada dalam kondisi semacam meditasi saat menunggu diciduk oleh bis-bis besar itu.
Tahukah kalian bagaimana penampakan kalian tatkala menunggu bis berbahan bakar gas tersebut datang wahai para penumpang yang tehormat? Mungkin Anda terlalu sibuk merutuki keadaan atau masih memikirkan pekerjaan selagi menunggu, sehingga tidak sempat membayangkan wajah Anda sendiri. Lain halnya dengan saya yang tidak pernah sibuk memikirkan apapun, sehingga hal-hal yang tidak penting pun jadi kepikiran. Tapi baiklah akan saya tunjukkan saja bagaimana wajah antrian bis TransJakarta (TJ) pada jam-jam sibuk.
Lima menit pertama. Wajah masih oke, bedak masih rata, kepala dan badan masih goyang-goyang dikit ngikutin irama musik dari ear phone masing-masing. Bibir juga masih bisa senyum biar keliatan ikhlas naik TJ. Masih ada harapan bahwa hari ini akan jadi hari baik kita dalam hal transportasi. Harapan bahwa bis TJ yang kita tunggu-tunggu akan segera muncul sebelum antrian ini berubah jadi lautan manusia berbagai aroma.
Lima menit kedua, kendaraan yang ditunggu tak kunjung datang. Resah dan gelisah mulai hinggap. Pertanyaan “sanggup gak nih gue bertahan lebih lama lagi di sini?” Sementara semut-semut mulai terasa merambati kaki. Titik-titik peluh mulai menetas satu persatu di dahi, leher, punggung, tangan, dan kaki. Not to mention, in the armpit. Barisan yang tadinya renggang mulai merapat. Senyum mulai lenyap berganti garis datar di bibir.
Lima menit ketiga, bis gagah jurusan yang kita mau belum datang juga. Tambah kesel karena banyak bis yang lewat tapi cuma ngangkut penumpang jurusan tetangga sebelah. Penyesalan mulai muncul. “Akh, harusnya tadi gue keluar dari kantor lebih cepet. Atau “Harusnya tadi gue nunggu maleman aja pulangnya biar agak sepi.
Lima menit keempat. Bedak mulai luntur. Semut yang tadinya cuma merayap di kaki mulai merambat naik ke betis sampe dengkul, kesemutan kronis. Sementara crowd mulai makin rapat, keringet yang tadinya baru menyembul satu-satu dari pori-pori mulai meleleh di kulit. Belum lagi lelehan keringat dari tetangga sebelah, euuww!!
Lima menit kelima. Bis yang ditunggu nekat gak datang-datang. Di sinilah ujian kesabaran yang sebenarnya. Bibir yang tadinya datar, ujung-ujungnya mulai bergerak turun. Wajah kita menjelma sesuatu yang menakutkan, sangar, semacam senggol-bacok! Rasanya pingin marah tapi gak tahu mau marah sama siapa. Alhasil ada yang marah-marah sama petugas Transjak atau ke sesama calon penumpang yang entah bagaimana jadi sangat menyebalkan.
Lima menit keenam, petugas TransJak mengumumkan bahwa kemacetan parah terjadi di salah satu ruas jalan yang dilalui sehingga mengakibatkan bis datang terlambat. Beberapa orang mulai menyerah dan keluar dari antrian, mencoba moda transportasi lain semisal ojek atau taksi. Namun sebagai orang yang pantang menyerah (sebaiknya pikirkan kembali pilihan sikap ini), kita berusaha tetap tegak berdiri tak goyah dalam antrian. Lagipula tanggung, sudah terlanjur menunggu selama ini. Kalau mau menyerah sih harusnya dari tadi.
Lima menit ketujuh, menjerit, tapi hanya dalam hati saja. Pengen nangis tapi malu. Hanya bisa menggeram pelan.
Lima menit kedelapan. Mati rasa.
Lima menit kesembilan. Cari-cari alasan untuk tidak masuk kantor esok hari.
Lima menit kesepuluh. Bis datang. Tarik nafas panjang. Dekap barang-barang bawaan. Pasang kuda-kuda. Bersiap sikut-sikutan dengan sesama calon penumpang. Compete for your life!
******
Dua puluh menit kemudian...
Ting! Pemberhentian berikutnya, halte Pejaten. Perhatikan barang bawaan Anda dan hati-hati melangkah. Terima kasih.
Next stop, Pejaten shelter. Check your belongings and step carefully. Thank you.


No comments:

Post a Comment