Tuesday, November 6, 2012

Bangku Kosong



“Permisi, ini kosong?” ia menunjuk bangku di sebelahku.

Aku hanya mengangguk dan sedikit menggeser pantatku. Wangi parfum maskulin segera tercium begitu ia duduk.

“Lumayan, bukan bau minyak angin” pikirku.

Sepuluh menit berlalu. Kami sama-sama membisu.

Tiba-tiba ia beranjak, kupikir ia ke toilet. Tapi sepuluh menit berlalu ia belum juga kembali.

“Ke mana dia?”

“Ah, mengapa aku harus mencarinya? Dia kan bukan siapa-siapa”.

Sepuluh menit berikutnya, tidak ada tanda-tanda.

Kemudian dengan refleks atau didorong oleh perasaan entah apa, aku memutar kepalaku mencari sosok lelaki tadi.

Dan di sanalah ia – duduk lima baris di belakangku, bercengkrama akrab dengan seorang gadis.

Dalam hati aku menggerutu “apa sih susahnya memulai percakapan? Kesempatan emas malah disia-siakan”.


[cerita #111Kata dengan tema "kursi" untuk @jejakubikel]

Monday, November 5, 2012

Kisah Tragis di Ermoupoli


Feodora dan Guilio saling mencintai. Namun cinta mereka terhalang tembok perbedaan yang menjulang tinggi. Feodora adalah putri keluarga bangsawan di kota Ermoupoli, sedangkan Guilio hanyalah anak keluarga petani.

Selama dua tahun mereka berhasil menyembunyikan hubungan mereka. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keluarga Feodora akhirnya mengetahui hubungan terlarang itu. Untuk menutupi malu, bangsawan itu menuduh Guilio melakukan guna-guna terhadap Feodora. Tentu saja mereka tidak punya bukti, tapi pengadilan dapat mereka beli. Guilio akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Keesokan harinya Guilio mati di Meja Batu – kepalanya dipenggal. Sesaat kemudian, Feodora pun meregang nyawa di kamarnya. Kepalanya terkulai di meja rias di mana racun ditemukan dalam bubuk bedaknya.


[cerita #111Kata dengan tema "meja", tantangan hari keempat dari @jejakubikel]

Saturday, November 3, 2012

Sendok



Pendingin ruangan sudah dimatikan sedari tadi, kini kamar terasa lembap. Hawa panas menguar dari tubuh telanjang Sandra. Peluh mulai meleleh di dahi dan leher jenjang Sandra, membuat kulit mulusnya bercahaya. Matanya terpejam menghayati, meski kadang membelalak demi kejutan-kejutan kecil yang kerap terjadi. Mulutnya serupa ikan mendamba makan, setengah terbuka menggapai udara. Nafasnya engah beraturan, seiring dengan lenguhan dan erangan yang bergantian.

Mendekati puncak tubuh Sandra semakin gelisah. Panas tubuhnya meningkat tajam. Seketika Sandra merasakan tegang di selangkangan merambati seluruh sel tubuhnya. Gelap! Untuk sesaat Sandra meninggalkan dunia. Lalu erangan panjang mengakhiri perjalanannya.


“Tidididit... Tidididit...” telepon dari suaminya. Segera ia bangkit, memijit tombol terima, dan meletakkan sendok yang basah di atas meja.



[Cerita ini masih cerita #111Kata dengan tema yang sama seperti judulnya, yaitu "sendok" yang jadi tema di hari ke-3 bulan 11 tantangan @jejakubikel]

Ubud


Minggu pagi di desa Campuhan mungkin terlihat seperti pagi-pagi yang lain
Aku akan keluar sebentar, mungkin berjalan-jalan di antara ilalang, 
       atau bersepeda menuju pasar untuk membeli sayur dan buah-buahan
Telah kutinggalkan teh panas untukmu di samping tempat tidur,
       agar uap harumnya membangunkan pulasmu
Maka saat aku kembali, kamu akan berdiri memegang cangkir,
       melepas pandang ke terasering
"Selamat pagi..." kita bertukar sapa dengan hangat,
       mungkin juga ada kecupan ringan mendarat
Lalu kamu duduk di beranda menikmati teh yang tersisa,
       aku ke dapur membuatkan sarapan untuk kita
Pancake pisang dengan perasan jeruk nipis dan madu,
       mangga manis dipotong dadu, dan jus buah jambu

Sisa hari adalah milik waktu
Kita nikmati sepenuhnya tanpa gerutu
Bisa menulis atau membaca buku
Bisa juga belajar melukis telur-telur lucu

Aku dan kamu jatuh cinta pada tempat ini
Entah apakah kita jatuh hati satu sama lain?
Kita tidak mengkonfontasi perasaan
Kita hanya berbagi kecintaan















[ditulis untuk mengenang moment kejatuhanku pada Ubud]

Makan Malam


“Kata Mama kalo lagi makan gak boleh ngomooong...!!!” Reza kecil berteriak dengan mulut penuh nasi campur sayur kangkung. Sementara Rei tak peduli dengan teriakan adiknya dan tetap asyik menceritakan kejadian toilet bocor di Sekolah sambil acuh memamah biak. Duduk di ujung meja, Ayah mereka sedang sibuk bicara dengan telepon genggamnya seperti biasa. Suara tangis Rae kecil melatarbelakangi segala suara yang bersaing menjadi yang terdengar di ruang makan itu.

Ibu datang dari arah dapur membawa piring dengan sikap yang tidak biasa. Semua suara tadi senyap demi melihat ke arah Ibu. Piring tadi Ibu letakkan di tengah-tengah meja. Ada lidah Ibu di sana, dengan pesan bertuliskan: “tutup mulut kalian dan makanlah dengan tenang!”


[Cerita ini adalah cerita #111Kata dengan tema "piring" yang ditulis untuk @jejakubikel. Tantangan #111Kata @jejakubikel hari ke-2 di bulan 11]

Kamu Berubah...

Sudah dua puluh lima menit berlalu sejak ia pergi meninggalkan apartemen studioku. Tapi bagiku waktu serasa tak pernah beranjak. Aku membatu di bangku kayu tanpa senderan di hadapan meja makan. Mencoba merasakan hangat di kening tempat ia mendaratkan kecupan sesaat sebelum pergi, tapi yang kurasa hanya dingin.

Ia datang untuk mengucap perpisahan. Tapi potongan kenangan bersamanya selama enam tahun terakhir berseliweran di dalam kepala, membuyarkan suara lembutnya, mengabaikan penjelasannya. Ah, tapi tanpa penjelasan lisanpun visual sudah berkata banyak. Lelakiku berubah. Bibirnya, aku tak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Bibir yang diam-diam kukagumi dan kurindukan, kini berwarna merah. Mataku masih tak lepas menatap bekas gincu di cangkir kopi yang ia tinggalkan.


[Cerita ini adalah cerita #111Kata dengan tema "cangkir". Cerita #111Kata ini ditulis untuk menjawab tantangan dari @jejakubikel di bulan 11]