Tuesday, December 25, 2012

I Wish...


I wish I was there or I wish you were here...

There must be a reason that you are not in the same place with the person you wished. Because no matter how cool or how fun their activity in your imagination as you stare at their pictures or heard from their voices or read from their messages, it won’t be the same as if you are around them. The story would be totally different, it maybe better but it may also be worst.

You are amazed by the story of wonderful things they saw or did, but maybe if you are there by their side, those things won’t be as wonderful as you imagined. Your attention to the beauty of a place or to the fun of activity might be distracted by your excitement of being together with the person you adored.

You can bare the awful story of their journey, you can be their angel by being a good listener and maybe give some nice words to sooth them. But if you were there, experience those awful things by yourself with them, I doubt you could be as calm as an angel and speak up nice words to make things look better.

The difference of your existence (be with them physically or miles away but always there to listen) will definitely make a different on the way you thought about them and the way you thought about your relationship/togetherness – despite of whatever togetherness you are doing.

Admiring someone is better done from a distance..

[a short note from a short thought]

Calabai, 27 November 2012

Gio


Aku menamainya Gio, padahal aku tidak tahu apakah ia perempuan atau laki-laki. Kalau ia perempuan bisa saja nama panjangnya Giovany, tapi tetap akan kupanggil Gio.

Gio adalah tukik mungil yang lembut dan lucu hasil percobaan konservasi penyu oleh teman-teman dari KOMPPAK (Komunitas Pecinta Penyu dan Karang). Begitu mungil dan lembutnya Gio sampai aku tidak bisa membayangkan suatu hari nanti ia bisa jadi sebesar penyu-penyu yang pernah kulihat selama ini.

Sebelumnya Gio datang sebagai telur penyu bersama 89 butir telur lainnya yang dibeli oleh teman-teman KOMPPAK dari desa Kawinda To’i seharga Rp. 2.500 per butir. Biasanya mereka menjual telur penyu untuk dikonsumsi dengan harga Rp. 3.000 per butir, berhubung kali ini untuk tujuan konservasi maka mereka setuju memberikan potongan harga Rp. 500 per butir.

Cikal bakal Gio dan 89 telur lainnya dibawa ke desa Calabai. Di sini teman-teman KOMPPAK sudah mempersiapkan tempat untuk telur Gio dan teman-temannya di pantai. Mereka membuat lubang di pasir dengan kedalaman mulai dari 15 cm hingga 40 cm. Nah, telur Gio kebagian tempat di lubang sedalam 25 cm. Pada hari ke-42 telur-telur penyu itu mulai menetas, tapi sayang tidak semua menetas. Dari 90 butir telur yang dipendam, hanya 15 telur saja yang menetas sempurna. Mereka adalah telur-telur yang dipendam di kedalaman 20 cm, 25 cm, dan 30 cm. Sayangnya lagi, 15 bayi tukik yang menetas itu satu per satu mati pada hari-hari berikutnya dan hanya menyisakan tiga ekor termasuk Gio ini.

Karena banyak tukik yang mati kawan-kawan KOMPPAK mulai lebih waspada untuk merawat Gio dan dua temannya yang tersisa. Mereka ditaruh di ember yang setiap hari harus diganti airnya. Mereka belum butuh makanan karena masih membawa makanan sendiri di bawah tubuhnya. Selang satu bulan teman-teman KOMPPAK membuatkan penangkaran sederhana di dekat dermaga. Penangkaran ini juga nantinya akan digunakan untuk menampung teman-teman Gio yang akan didatangkan dari Mataram sedikitnya 50 ekor tukik. Penangkaran ini sangat sederhana, berukuran kurang lebih 5 m X 2,5 m dibuat dengan 6 tonggak kayu dan dikelilingi jaring dua lapis. Tingginya pun tidak sampai 2 meter.

Maka pada suatu sore yang cerah ketika penangkaran tersebut selesai dibuat, kami pindahkan Gio dan dua temannya ini dari ember ke dalam penangkaran. Aku bisikkan padanya untuk senantiasa berhati-hati dan semoga dia aman di dalam sana. Gio terlihat sangat gembira saat dilepas ke dalam penangkaran. Ia berenang lincah ke sana ke mari, dan kami pun meninggalkan mereka di sana saat senja mulai turun.

Malam harinya sekitar pukul 22:00 kami mendapat kabar bahwa air laut meninggi dan salah satu tukik terlepas dari penangkaran. Panik, kami semua segera berlari menuju dermaga. Sesampainya di sana kawan-kawan KOMPPAK segera terjun membetulkan jaring yang agak turun di salah satu sisi dan benar menemukan bahwa di dalam hanya tinggal tersisa dua ekor tukik. Aku pun meratap, kamu ke mana Gio??? Kami mencarinya di sekeliling dermaga tapi berhubung ukurannya masih sangat kecil dan malam gelap, kami tidak berhasil menemukannya.

Aku melepas pandang ke arah laut luas di depan dermaga, mencemaskan Gio. Suara 'cepiak' air laut yang menampar lembut tiang-tiang dermaga melemparku ke dalam kenangan tentang Gio. Ya ampun, dia masih begitu kecil, begitu rentan. Akankah ia sanggup bertahan di luar sana? Laut gelap di hadapanku hanya diam tak menjawab. Aku menunduk, di manapun kamu berada sekarang semoga kamu baik-baik saja Gio... Semoga kamu selamat dan dapat tumbuh besar, kawin, lalu menghasilkan telur yang banyak demi keberlangsungan spesiesmu dan keseimbangan alam semesta.

Selamat jalan Gio... Your journey starts here...

[Calabai, 29 November 2012]

Catatan: Teman-teman di KOMPPAK juga mulai mensosialisasikan gerakan konservasi penyu ini kepada penduduk. Daripada penduduk mengambil telur penyu dan dijual untuk dikonsumsi, KOMPPAK bersedia membayar Rp. 5000 untuk setiap tukik yang mereka biarkan menetas dari telurnya dan diserahkan ke KOMPPAK untuk ditangkar. Untuk informasi lebih lengkap tentang siapa KOMPPAK dan apa saja yang mereka lakukan, sila lihat di sini: KOMPPAK 
Atau baca tulisan seorang Pencumbu Indonesia tentang KOMPPAK di sini: Cumbu Indonesia siapa tahu ada yang mau bantu... Salam lestari!

Monday, December 24, 2012

'Santai' di Lombok


“Cemplung! Cemplung!” akhirnya dua kaki saya mendarat di pulau Lombok. Turun dari fast boat yang mengantar saya dari Padang Bai Bali ke Teluk Nara Lombok. Sampai di Teluk Nara saya dan travel mate saya masih agak-agak jetlag (nyawa belum ngumpul semua lebih tepatnya karena tidur sepanjang perjalanan kapal). Jadi saat ditanya oleh orang-orang yang menawarkan jasa transportasi berupa travel, kami kebingungan. Akhirnya saya sebutkan saja satu-satunya nama penginapan di Senggigi yang saya tahu dari rekomendasi seorang teman, “Santai Beach Inn”. Harga travel 200 ribu per mobil (mobilnya APV tapi kapasitas maksimal hanya 4 orang), mahal memang, tapi tidak ada pilihan lain karena kami bingung juga mau ke mana dan tidak tampak ada kendaraan umum di sekitar situ. Padahal kalau mau jalan sedikit ke jalan raya kami sebenarnya bisa menunggu bemo (angkot) di pinggir jalan yang memang lewatnya jarang-jarang. Beruntung ada sepasang bule yang mau sharing dengan kami. Jadi ongkos 200 rb dibagi berempat, deal!

Wow.... Sepanjang perjalanan dari Teluk Nara sampai ke Mangsit (ternyata Santai Beach Inn letaknya di Jl. Mangsit, belum sampai Senggigi) kami tak henti-henti berdecak kagum demi melihat pemandangan yang sempurna di bawah siraman sinar matahari maksimal. Laut biru di sebelah kanan jalan dan bukit gersang kecoklatan di sebelah kiri menghasilkan panorama yang eksotik. Jalanannya sepi jali dan mulus lus lus lus tanpa cela.. Hot mix hitam berkilauan memantulkan cahaya matahari yang siang itu terik luar biasa. Lambat laun bukit gersang kecoklatan berganti dengan bukit hijau menyegarkan, masih berhadapan dengan laut biru mempesona, kami melewati Nipah Hills.

Setelah 20 menit perjalanan yang rasanya seperti obat tetes mata – menyegarkan, kami akhirnya sampai di Santai Beach Inn. Kesan pertama, hmm... Sejuk! Dari pintu masuk tempat ini lebih mirip hutan atau kebun ketimbang penginapan. Pohon-pohon tinggi, semak-semak rimbun, pokoknya adem! Konsep kamarnya adalah cottages, jadi masing-masing kamar terpisah oleh rimbun tumbuh-tumbuhan. Ada dua kamar standard yang tipenya rumah monyet, kamar tidur di atas, di bawah bale-bale untuk bersantai dan ngobrol-ngobrol. Kamar mandi semi outdoor dengan WC jongkok untuk kamar standard. Sayang kami lupa melihat-lihat isi kamar yang levelnya di atas standard, tapi bentuknya cottage biasa, bukan rumah monyet seperti kamar standard. Semua kamar di sini tanpa AC, hanya ada kipas angin kecil di sisi tempat tidur yang tidak pernah kami nyalakan karena kami lebih butuh colokannya untuk charge hp dan segala gadget. Angin bisa kami dapatkan cuma-cuma di kamar hanya dengan membuka jendela. Satu hal yang agak mengganggu adalah paduan suara tonggeret yang nyaring bunyinya, sangat nyaring sampai memekakkan telinga! Tapi untungnya serangga-serangga itu hanya bernyanyi di siang hari. Tapi malamnya pun suasana masih ramai dengan suara jangkrik dan binatang entah apa yang syahdu membalut malam. Benar-benar penginapan bernuansa natural.

 


Santai Beach Inn terletak di Jalan Mangsit, yaitu jalan tempat villa-villa dan resort-resort mewah berdiri. Di balik resort-resort mewah itu tentunya ada private beach yang jadi andalan mereka. Nah, karena berada sejalan dengan mereka maka otomatis Santai Beach Inn juga dapat jatah private beach meskipun tidak langsung di belakang penginapan. Halaman belakang Santai Beach Inn tidak berbatasan dengan pantai seperti resort-resort itu, melainkan dengan batu. Jadi kalau ingin main air laut atau mantai kita harus berjalan sedikit ke kanan menuruni pijakan batu. Dan kalau kita berjalan sepanjang pantai itu kita bisa lihat fasilitas resort-resort mewah tetangga sebelah. Kolam renang dan kursi-kursi tidur menghadap ke laut, kamar massage terbuka ke pemandangan laut, restaurant dengan pemandangan laut, dan sebagainya dengan view langsung laut dan pantai. Huh! (ceritanya nyinyir).



Overall, Santai Beach Inn tidaklah buruk sebagai pilihan penginapan di sekitar Senggigi. Dari Jalan Mangsit ke keramaian Senggigi hanya sekitar lima menit saja dengan kendaraan. Rate yang ditawarkan (2012) adalah Rp. 110 rb untuk single (1 orang) dan Rp. 160 ribu untuk double (2 orang) per kamar standard, belum termasuk pajak tapi sudah termasuk sarapan. Sarapan yang unik, tiga potong pisang goreng dan dua potong pepaya untuk setiap orang ditambah teh/kopi. Oiya, di sini juga ada wifi tapi untuk dapat passwordnya harus bayar kalau tidak salah Rp. 20 rb. Lebih menarik lagi penginapan ini punya perpustakaan mini di bale-bale tempat makan/nongkrong. Seperti yang bisa diduga rak bukunya didominasi oleh buku-buku lama dan buku-buku itu bisa dibeli dengan harga Rp. 50 ribu untuk buku > 500 halaman dan Rp. 40 ribu untuk buku < 500 halaman. Mereka juga mau membeli (buy/buy back) buku dengan harga setengah dari harga jual tadi.


Pagi harinya saya dan travel mate saya melakukan yoga di halaman belakang penginapan. Langsung di atas pasir tanpa alas dengan pemandangan laut biru dan suara debur ombak mengiringi. Kapan lagi?? ;)


[Senggigi, 15 November 2012]


Chris


Chris      : “How much money will you take for both of your eyes?”
Me         : “Excuse me?”
Chris      : “Let’s say somebody will give a lot of money to take your eyes, how much do you think it worth? USD 40 million??”
Me         : “Hmm, sorry.. Not for sale..”
Chris      : “See? It’s not about the money. It’s about the opportunity to experience things. You will never exchange the opportunity to see the world with bunch of money, no matter how much.”
Itu adalah secuil cuplikan percakapan saya dengan seorang traveler asal Austria, sebut saja Chris. Ini adalah bulan keduanya dari enam bulan rencana perjalanannya keliling Asia.
Chris bertemu Gus – seorang traveler asal Spanyol, di Lombok, lalu mereka bergabung untuk share room di Bali. Gus adalah seorang couchsurfer kenalan Anna – my travel mate, lalu mereka (Anna dan Gus) janjian untuk bertemu di Bali. Begitulah saya pun berkenalan dengan Gus dan Chris.
Gustav is a very nice guy and a very good example of couchsurfer. Tapi bagi saya Chris lebih menarik (not in attractive way – if you know what I mean). Chris adalah seseorang yang sangat filosofis. Saat kami sedang membicarakan sebuah topik, dia bisa tiba-tiba merespon dengan kalimat-kalimat ajaib yang filosofis. Surprising moment yang kadang membuat saya tertawa geli, tapi kadang juga membuat saya mengangguk-angguk mafhum.
Di malam terakhir kami di Bali, kami duduk-duduk di atas pasir pantai Kuta yang malam itu masih juga ramai orang. Karena Anna sudah mengobrol seru dengan Gus, maka saya dan Chris mau tak mau harus berbagi dalam diam. Lambat laun obrolan berat tentang kehidupan, keyakinan, masa lalu, dan masa depan mengalir seperti ombak yang saling mengantarkan.
Chris membagi cerita tentang salah satu pengalaman hidup yang mengubah hidupnya sekarang. Mungkin itu adalah obrolan terdalam yang pernah saya lakukan dengan orang yang baru saya kenal. “Wow, that was quite deep conversation that you won’t have everyday with every person” kata Chris, dan saya hanya tersenyum...
Tanpa terasa malam bergulir semakin jauh. Waktu yang mempertemukan kami, waktu juga yang akhirnya memisahkan kami. Walaupun secara teknis kami baru bertemu dan jalan bareng satu hari, tapi satu hari di Bali itu akan menjadi satu hari yang tidak mudah terlupakan. Selain karena pengalaman jalan yang seru (sengaja nyasar-nyasar mencari peristiwa), obrolan yang membuat kami merasa sudah kenal bertahun-tahun membuat pelukan perpisahan malam itu sulit dilepaskan.
Chris      : “In the end, everything is gonna be fine”
Me         : “If it’s not fine, then it’s not the end” (Then we ‘high-five!’) 
Satu lagi kalimat Chris yang masih saya ingat sampai sekarang:
“What is the most amazing thing that happen today? It is that you are ALIVE.”

[This note is dedicated to Chris, for our one night-friendship]
~ Senggigi, 9 November 2012 ~

Lost In "Civilization"


Meninggalkan ibu kota selama lima minggu ternyata mampu membuat saya merasa asing begitu menginjakan kaki di kota ini lagi. Bukan sih karena pembangunan atau perubahan infrastruktur yang sebegitu pesat sampai sulit dikenali, semata-mata hanya karena saya lupa bagaimana rasanya hidup di kota metropolitan sebesar Jakarta. Bisa jadi otak saya memang sudah tercuci oleh segala hal yang terjadi lima minggu belakangan.
Sedikit flash back, lima minggu yang lalu (tepatnya tanggal 7 November 2012) saya terbang meninggalkan Jakarta di pagi buta – flight pertama pukul 06:00 ke Bali. Setelah itu saya menikmati hari demi hari yang kadang penuh petualangan, kadang penuh ketenangan. Melipir dari pulau Bali ke Lombok, menjajal fisik dan mental ke ketinggian gunung Rinjani, snorkeling santai di Gili Trawangan, menyaksikan pawai budaya Festival Moyo 2012 di Sumbawa, bersantai di Pulau Moyo, menanam pohon dan terumbu karang di Calabai, mencicipi susu kuda liar di Dompu, melewati Bima terus ke Sape, menyeberang ke Labuan Bajo, menengok komodo di Pulau Komodo, melihat sawah yang mirip sarang laba-laba di Ruteng, berkunjung ke Desa Bena dan Desa Luba (desa tradisional) di Bajawa dan berendam di sumber air panas Soa, mencari matahari terbit di Danau Kelimutu, kembali ke Ende untuk menunggu ferry ke Kupang, dan terakhir bersantai di Kupang sampai waktunya kembali ke Jakarta. Pffiiuuhhh... Such a short journey.. Hahahaha.. J
Tanggal 14 Desember 2012 saya tiba kembali dengan selamat – walau dalam keadaan yang agak kusam, di Jakarta. Dijemput oleh adik tercinta di Bandara Cengkareng – mungkin ia takut kakaknya nyasar atau lupa jalan pulang, proses perkenalan kembali dengan adat istiadat dan budaya kota besar Jakarta pun dimulai.
Waktu itu hari Jumat, kami (saya, adik saya, dan Marni – mobil adik saya) meninggalkan Bandara sekitar pukul 16:00 WIB. Macet? Gak usah ditanya. Sekarang sepertinya ‘tidak macet’ adalah sesuatu yang di atas normal bagi Kota Jakarta. Jadi di sanalah kami, di tengah kemacetan tol Bandara, beringsut sedikit demi sedikit seperti siput di antara siput-siput lainnya. Tiba-tiba terdengar sirine yang cukup mengganggu, itulah voorider rombongan entah siapa yang memaksa meminta jalan. Adik saya yang sudah bete sedari tadi seketika emosinya melonjak naik dan tidak punya niat sama sekali memberi jalan. “Gue juga pengguna jalan! Gue bayar tol! Enak aja nyuruh-nyuruh gue minggir!” begitulah adik saya meluapkan emosinya di sebelah saya. Tapi apa daya motor besar itu begitu mengintimidasi dan akhirnya berhasil memberikan jalan leluasa bagi iring-iringan mobil di belakangnya. Sekali lagi adik saya “nge-rap” di belakang kemudi. Lalu setiap kali adik saya berusaha masuk ke dalam barisan dan tidak diberi jalan, ia langsung mengumpat “Pelit! Biarin aja kalo pelit nanti kuburannya sempit!”. Setelah lepas jauh dari jalan tol, ada seorang laki-laki yang menyebrang jalan dan hampir terkena moncongnya Marni. Adik saya menekan klakson dengan marah. Lalu mereka (adik saya dan si penyeberang jalan) saling beradu besar bola mata. Tentu saja adik saya kalah (matanya sama sipitnya seperti saya) tapi kilatan yang terpancar dari matanya seakan berkata “don’t mess with this girl!”. Hahahaha...
Sebenarnya saya sedikit shock melihat adik saya sekeras itu – seperti Tyranosaurus belum buka puasa. Tapi saya hanya bisa duduk diam di bangku penumpang dan terbengong-bengong seperti orang ling-lung. Setiap kali adik saya mengumpat marah, dalam hati saya hanya berkata “ya ampun, harus ya marah-marah sampe segitunya??”
Saya merasa “tersesat” di ibu kota. Yah, mungkin saya memang telah lupa seberapa besar tekanan hidup di Jakarta. Mungkin saya telah lupa bahwa tinggal di Jakarta memang harus galak biar gak digalakin orang. Mungkin saya pun telah lupa bahwa di Jakarta kita tidak boleh lemah apalagi ngalah, sebab kalau kita ngalah maka kita akan mati terinjak atau diinjak. Jadi ingat jargon yang sempat terkenal pada jaman dahulu dan sepertinya masih relevan hingga sekarang: ‘Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri’.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu sebelum saya meninggalkan Jakarta, saya juga sekeras itu? Jika iya, betapa saya bersyukur sempat meninggalkan semua itu, walau hanya sementara. Dan mari kita lihat berapa lama yang Jakarta butuhkan untuk membuat saya kembali menjadi insan Jakarta yang keras!

[Cileungsi, 16 Desember 2012]