Tuesday, December 25, 2012

I Wish...


I wish I was there or I wish you were here...

There must be a reason that you are not in the same place with the person you wished. Because no matter how cool or how fun their activity in your imagination as you stare at their pictures or heard from their voices or read from their messages, it won’t be the same as if you are around them. The story would be totally different, it maybe better but it may also be worst.

You are amazed by the story of wonderful things they saw or did, but maybe if you are there by their side, those things won’t be as wonderful as you imagined. Your attention to the beauty of a place or to the fun of activity might be distracted by your excitement of being together with the person you adored.

You can bare the awful story of their journey, you can be their angel by being a good listener and maybe give some nice words to sooth them. But if you were there, experience those awful things by yourself with them, I doubt you could be as calm as an angel and speak up nice words to make things look better.

The difference of your existence (be with them physically or miles away but always there to listen) will definitely make a different on the way you thought about them and the way you thought about your relationship/togetherness – despite of whatever togetherness you are doing.

Admiring someone is better done from a distance..

[a short note from a short thought]

Calabai, 27 November 2012

Gio


Aku menamainya Gio, padahal aku tidak tahu apakah ia perempuan atau laki-laki. Kalau ia perempuan bisa saja nama panjangnya Giovany, tapi tetap akan kupanggil Gio.

Gio adalah tukik mungil yang lembut dan lucu hasil percobaan konservasi penyu oleh teman-teman dari KOMPPAK (Komunitas Pecinta Penyu dan Karang). Begitu mungil dan lembutnya Gio sampai aku tidak bisa membayangkan suatu hari nanti ia bisa jadi sebesar penyu-penyu yang pernah kulihat selama ini.

Sebelumnya Gio datang sebagai telur penyu bersama 89 butir telur lainnya yang dibeli oleh teman-teman KOMPPAK dari desa Kawinda To’i seharga Rp. 2.500 per butir. Biasanya mereka menjual telur penyu untuk dikonsumsi dengan harga Rp. 3.000 per butir, berhubung kali ini untuk tujuan konservasi maka mereka setuju memberikan potongan harga Rp. 500 per butir.

Cikal bakal Gio dan 89 telur lainnya dibawa ke desa Calabai. Di sini teman-teman KOMPPAK sudah mempersiapkan tempat untuk telur Gio dan teman-temannya di pantai. Mereka membuat lubang di pasir dengan kedalaman mulai dari 15 cm hingga 40 cm. Nah, telur Gio kebagian tempat di lubang sedalam 25 cm. Pada hari ke-42 telur-telur penyu itu mulai menetas, tapi sayang tidak semua menetas. Dari 90 butir telur yang dipendam, hanya 15 telur saja yang menetas sempurna. Mereka adalah telur-telur yang dipendam di kedalaman 20 cm, 25 cm, dan 30 cm. Sayangnya lagi, 15 bayi tukik yang menetas itu satu per satu mati pada hari-hari berikutnya dan hanya menyisakan tiga ekor termasuk Gio ini.

Karena banyak tukik yang mati kawan-kawan KOMPPAK mulai lebih waspada untuk merawat Gio dan dua temannya yang tersisa. Mereka ditaruh di ember yang setiap hari harus diganti airnya. Mereka belum butuh makanan karena masih membawa makanan sendiri di bawah tubuhnya. Selang satu bulan teman-teman KOMPPAK membuatkan penangkaran sederhana di dekat dermaga. Penangkaran ini juga nantinya akan digunakan untuk menampung teman-teman Gio yang akan didatangkan dari Mataram sedikitnya 50 ekor tukik. Penangkaran ini sangat sederhana, berukuran kurang lebih 5 m X 2,5 m dibuat dengan 6 tonggak kayu dan dikelilingi jaring dua lapis. Tingginya pun tidak sampai 2 meter.

Maka pada suatu sore yang cerah ketika penangkaran tersebut selesai dibuat, kami pindahkan Gio dan dua temannya ini dari ember ke dalam penangkaran. Aku bisikkan padanya untuk senantiasa berhati-hati dan semoga dia aman di dalam sana. Gio terlihat sangat gembira saat dilepas ke dalam penangkaran. Ia berenang lincah ke sana ke mari, dan kami pun meninggalkan mereka di sana saat senja mulai turun.

Malam harinya sekitar pukul 22:00 kami mendapat kabar bahwa air laut meninggi dan salah satu tukik terlepas dari penangkaran. Panik, kami semua segera berlari menuju dermaga. Sesampainya di sana kawan-kawan KOMPPAK segera terjun membetulkan jaring yang agak turun di salah satu sisi dan benar menemukan bahwa di dalam hanya tinggal tersisa dua ekor tukik. Aku pun meratap, kamu ke mana Gio??? Kami mencarinya di sekeliling dermaga tapi berhubung ukurannya masih sangat kecil dan malam gelap, kami tidak berhasil menemukannya.

Aku melepas pandang ke arah laut luas di depan dermaga, mencemaskan Gio. Suara 'cepiak' air laut yang menampar lembut tiang-tiang dermaga melemparku ke dalam kenangan tentang Gio. Ya ampun, dia masih begitu kecil, begitu rentan. Akankah ia sanggup bertahan di luar sana? Laut gelap di hadapanku hanya diam tak menjawab. Aku menunduk, di manapun kamu berada sekarang semoga kamu baik-baik saja Gio... Semoga kamu selamat dan dapat tumbuh besar, kawin, lalu menghasilkan telur yang banyak demi keberlangsungan spesiesmu dan keseimbangan alam semesta.

Selamat jalan Gio... Your journey starts here...

[Calabai, 29 November 2012]

Catatan: Teman-teman di KOMPPAK juga mulai mensosialisasikan gerakan konservasi penyu ini kepada penduduk. Daripada penduduk mengambil telur penyu dan dijual untuk dikonsumsi, KOMPPAK bersedia membayar Rp. 5000 untuk setiap tukik yang mereka biarkan menetas dari telurnya dan diserahkan ke KOMPPAK untuk ditangkar. Untuk informasi lebih lengkap tentang siapa KOMPPAK dan apa saja yang mereka lakukan, sila lihat di sini: KOMPPAK 
Atau baca tulisan seorang Pencumbu Indonesia tentang KOMPPAK di sini: Cumbu Indonesia siapa tahu ada yang mau bantu... Salam lestari!

Monday, December 24, 2012

'Santai' di Lombok


“Cemplung! Cemplung!” akhirnya dua kaki saya mendarat di pulau Lombok. Turun dari fast boat yang mengantar saya dari Padang Bai Bali ke Teluk Nara Lombok. Sampai di Teluk Nara saya dan travel mate saya masih agak-agak jetlag (nyawa belum ngumpul semua lebih tepatnya karena tidur sepanjang perjalanan kapal). Jadi saat ditanya oleh orang-orang yang menawarkan jasa transportasi berupa travel, kami kebingungan. Akhirnya saya sebutkan saja satu-satunya nama penginapan di Senggigi yang saya tahu dari rekomendasi seorang teman, “Santai Beach Inn”. Harga travel 200 ribu per mobil (mobilnya APV tapi kapasitas maksimal hanya 4 orang), mahal memang, tapi tidak ada pilihan lain karena kami bingung juga mau ke mana dan tidak tampak ada kendaraan umum di sekitar situ. Padahal kalau mau jalan sedikit ke jalan raya kami sebenarnya bisa menunggu bemo (angkot) di pinggir jalan yang memang lewatnya jarang-jarang. Beruntung ada sepasang bule yang mau sharing dengan kami. Jadi ongkos 200 rb dibagi berempat, deal!

Wow.... Sepanjang perjalanan dari Teluk Nara sampai ke Mangsit (ternyata Santai Beach Inn letaknya di Jl. Mangsit, belum sampai Senggigi) kami tak henti-henti berdecak kagum demi melihat pemandangan yang sempurna di bawah siraman sinar matahari maksimal. Laut biru di sebelah kanan jalan dan bukit gersang kecoklatan di sebelah kiri menghasilkan panorama yang eksotik. Jalanannya sepi jali dan mulus lus lus lus tanpa cela.. Hot mix hitam berkilauan memantulkan cahaya matahari yang siang itu terik luar biasa. Lambat laun bukit gersang kecoklatan berganti dengan bukit hijau menyegarkan, masih berhadapan dengan laut biru mempesona, kami melewati Nipah Hills.

Setelah 20 menit perjalanan yang rasanya seperti obat tetes mata – menyegarkan, kami akhirnya sampai di Santai Beach Inn. Kesan pertama, hmm... Sejuk! Dari pintu masuk tempat ini lebih mirip hutan atau kebun ketimbang penginapan. Pohon-pohon tinggi, semak-semak rimbun, pokoknya adem! Konsep kamarnya adalah cottages, jadi masing-masing kamar terpisah oleh rimbun tumbuh-tumbuhan. Ada dua kamar standard yang tipenya rumah monyet, kamar tidur di atas, di bawah bale-bale untuk bersantai dan ngobrol-ngobrol. Kamar mandi semi outdoor dengan WC jongkok untuk kamar standard. Sayang kami lupa melihat-lihat isi kamar yang levelnya di atas standard, tapi bentuknya cottage biasa, bukan rumah monyet seperti kamar standard. Semua kamar di sini tanpa AC, hanya ada kipas angin kecil di sisi tempat tidur yang tidak pernah kami nyalakan karena kami lebih butuh colokannya untuk charge hp dan segala gadget. Angin bisa kami dapatkan cuma-cuma di kamar hanya dengan membuka jendela. Satu hal yang agak mengganggu adalah paduan suara tonggeret yang nyaring bunyinya, sangat nyaring sampai memekakkan telinga! Tapi untungnya serangga-serangga itu hanya bernyanyi di siang hari. Tapi malamnya pun suasana masih ramai dengan suara jangkrik dan binatang entah apa yang syahdu membalut malam. Benar-benar penginapan bernuansa natural.

 


Santai Beach Inn terletak di Jalan Mangsit, yaitu jalan tempat villa-villa dan resort-resort mewah berdiri. Di balik resort-resort mewah itu tentunya ada private beach yang jadi andalan mereka. Nah, karena berada sejalan dengan mereka maka otomatis Santai Beach Inn juga dapat jatah private beach meskipun tidak langsung di belakang penginapan. Halaman belakang Santai Beach Inn tidak berbatasan dengan pantai seperti resort-resort itu, melainkan dengan batu. Jadi kalau ingin main air laut atau mantai kita harus berjalan sedikit ke kanan menuruni pijakan batu. Dan kalau kita berjalan sepanjang pantai itu kita bisa lihat fasilitas resort-resort mewah tetangga sebelah. Kolam renang dan kursi-kursi tidur menghadap ke laut, kamar massage terbuka ke pemandangan laut, restaurant dengan pemandangan laut, dan sebagainya dengan view langsung laut dan pantai. Huh! (ceritanya nyinyir).



Overall, Santai Beach Inn tidaklah buruk sebagai pilihan penginapan di sekitar Senggigi. Dari Jalan Mangsit ke keramaian Senggigi hanya sekitar lima menit saja dengan kendaraan. Rate yang ditawarkan (2012) adalah Rp. 110 rb untuk single (1 orang) dan Rp. 160 ribu untuk double (2 orang) per kamar standard, belum termasuk pajak tapi sudah termasuk sarapan. Sarapan yang unik, tiga potong pisang goreng dan dua potong pepaya untuk setiap orang ditambah teh/kopi. Oiya, di sini juga ada wifi tapi untuk dapat passwordnya harus bayar kalau tidak salah Rp. 20 rb. Lebih menarik lagi penginapan ini punya perpustakaan mini di bale-bale tempat makan/nongkrong. Seperti yang bisa diduga rak bukunya didominasi oleh buku-buku lama dan buku-buku itu bisa dibeli dengan harga Rp. 50 ribu untuk buku > 500 halaman dan Rp. 40 ribu untuk buku < 500 halaman. Mereka juga mau membeli (buy/buy back) buku dengan harga setengah dari harga jual tadi.


Pagi harinya saya dan travel mate saya melakukan yoga di halaman belakang penginapan. Langsung di atas pasir tanpa alas dengan pemandangan laut biru dan suara debur ombak mengiringi. Kapan lagi?? ;)


[Senggigi, 15 November 2012]


Chris


Chris      : “How much money will you take for both of your eyes?”
Me         : “Excuse me?”
Chris      : “Let’s say somebody will give a lot of money to take your eyes, how much do you think it worth? USD 40 million??”
Me         : “Hmm, sorry.. Not for sale..”
Chris      : “See? It’s not about the money. It’s about the opportunity to experience things. You will never exchange the opportunity to see the world with bunch of money, no matter how much.”
Itu adalah secuil cuplikan percakapan saya dengan seorang traveler asal Austria, sebut saja Chris. Ini adalah bulan keduanya dari enam bulan rencana perjalanannya keliling Asia.
Chris bertemu Gus – seorang traveler asal Spanyol, di Lombok, lalu mereka bergabung untuk share room di Bali. Gus adalah seorang couchsurfer kenalan Anna – my travel mate, lalu mereka (Anna dan Gus) janjian untuk bertemu di Bali. Begitulah saya pun berkenalan dengan Gus dan Chris.
Gustav is a very nice guy and a very good example of couchsurfer. Tapi bagi saya Chris lebih menarik (not in attractive way – if you know what I mean). Chris adalah seseorang yang sangat filosofis. Saat kami sedang membicarakan sebuah topik, dia bisa tiba-tiba merespon dengan kalimat-kalimat ajaib yang filosofis. Surprising moment yang kadang membuat saya tertawa geli, tapi kadang juga membuat saya mengangguk-angguk mafhum.
Di malam terakhir kami di Bali, kami duduk-duduk di atas pasir pantai Kuta yang malam itu masih juga ramai orang. Karena Anna sudah mengobrol seru dengan Gus, maka saya dan Chris mau tak mau harus berbagi dalam diam. Lambat laun obrolan berat tentang kehidupan, keyakinan, masa lalu, dan masa depan mengalir seperti ombak yang saling mengantarkan.
Chris membagi cerita tentang salah satu pengalaman hidup yang mengubah hidupnya sekarang. Mungkin itu adalah obrolan terdalam yang pernah saya lakukan dengan orang yang baru saya kenal. “Wow, that was quite deep conversation that you won’t have everyday with every person” kata Chris, dan saya hanya tersenyum...
Tanpa terasa malam bergulir semakin jauh. Waktu yang mempertemukan kami, waktu juga yang akhirnya memisahkan kami. Walaupun secara teknis kami baru bertemu dan jalan bareng satu hari, tapi satu hari di Bali itu akan menjadi satu hari yang tidak mudah terlupakan. Selain karena pengalaman jalan yang seru (sengaja nyasar-nyasar mencari peristiwa), obrolan yang membuat kami merasa sudah kenal bertahun-tahun membuat pelukan perpisahan malam itu sulit dilepaskan.
Chris      : “In the end, everything is gonna be fine”
Me         : “If it’s not fine, then it’s not the end” (Then we ‘high-five!’) 
Satu lagi kalimat Chris yang masih saya ingat sampai sekarang:
“What is the most amazing thing that happen today? It is that you are ALIVE.”

[This note is dedicated to Chris, for our one night-friendship]
~ Senggigi, 9 November 2012 ~

Lost In "Civilization"


Meninggalkan ibu kota selama lima minggu ternyata mampu membuat saya merasa asing begitu menginjakan kaki di kota ini lagi. Bukan sih karena pembangunan atau perubahan infrastruktur yang sebegitu pesat sampai sulit dikenali, semata-mata hanya karena saya lupa bagaimana rasanya hidup di kota metropolitan sebesar Jakarta. Bisa jadi otak saya memang sudah tercuci oleh segala hal yang terjadi lima minggu belakangan.
Sedikit flash back, lima minggu yang lalu (tepatnya tanggal 7 November 2012) saya terbang meninggalkan Jakarta di pagi buta – flight pertama pukul 06:00 ke Bali. Setelah itu saya menikmati hari demi hari yang kadang penuh petualangan, kadang penuh ketenangan. Melipir dari pulau Bali ke Lombok, menjajal fisik dan mental ke ketinggian gunung Rinjani, snorkeling santai di Gili Trawangan, menyaksikan pawai budaya Festival Moyo 2012 di Sumbawa, bersantai di Pulau Moyo, menanam pohon dan terumbu karang di Calabai, mencicipi susu kuda liar di Dompu, melewati Bima terus ke Sape, menyeberang ke Labuan Bajo, menengok komodo di Pulau Komodo, melihat sawah yang mirip sarang laba-laba di Ruteng, berkunjung ke Desa Bena dan Desa Luba (desa tradisional) di Bajawa dan berendam di sumber air panas Soa, mencari matahari terbit di Danau Kelimutu, kembali ke Ende untuk menunggu ferry ke Kupang, dan terakhir bersantai di Kupang sampai waktunya kembali ke Jakarta. Pffiiuuhhh... Such a short journey.. Hahahaha.. J
Tanggal 14 Desember 2012 saya tiba kembali dengan selamat – walau dalam keadaan yang agak kusam, di Jakarta. Dijemput oleh adik tercinta di Bandara Cengkareng – mungkin ia takut kakaknya nyasar atau lupa jalan pulang, proses perkenalan kembali dengan adat istiadat dan budaya kota besar Jakarta pun dimulai.
Waktu itu hari Jumat, kami (saya, adik saya, dan Marni – mobil adik saya) meninggalkan Bandara sekitar pukul 16:00 WIB. Macet? Gak usah ditanya. Sekarang sepertinya ‘tidak macet’ adalah sesuatu yang di atas normal bagi Kota Jakarta. Jadi di sanalah kami, di tengah kemacetan tol Bandara, beringsut sedikit demi sedikit seperti siput di antara siput-siput lainnya. Tiba-tiba terdengar sirine yang cukup mengganggu, itulah voorider rombongan entah siapa yang memaksa meminta jalan. Adik saya yang sudah bete sedari tadi seketika emosinya melonjak naik dan tidak punya niat sama sekali memberi jalan. “Gue juga pengguna jalan! Gue bayar tol! Enak aja nyuruh-nyuruh gue minggir!” begitulah adik saya meluapkan emosinya di sebelah saya. Tapi apa daya motor besar itu begitu mengintimidasi dan akhirnya berhasil memberikan jalan leluasa bagi iring-iringan mobil di belakangnya. Sekali lagi adik saya “nge-rap” di belakang kemudi. Lalu setiap kali adik saya berusaha masuk ke dalam barisan dan tidak diberi jalan, ia langsung mengumpat “Pelit! Biarin aja kalo pelit nanti kuburannya sempit!”. Setelah lepas jauh dari jalan tol, ada seorang laki-laki yang menyebrang jalan dan hampir terkena moncongnya Marni. Adik saya menekan klakson dengan marah. Lalu mereka (adik saya dan si penyeberang jalan) saling beradu besar bola mata. Tentu saja adik saya kalah (matanya sama sipitnya seperti saya) tapi kilatan yang terpancar dari matanya seakan berkata “don’t mess with this girl!”. Hahahaha...
Sebenarnya saya sedikit shock melihat adik saya sekeras itu – seperti Tyranosaurus belum buka puasa. Tapi saya hanya bisa duduk diam di bangku penumpang dan terbengong-bengong seperti orang ling-lung. Setiap kali adik saya mengumpat marah, dalam hati saya hanya berkata “ya ampun, harus ya marah-marah sampe segitunya??”
Saya merasa “tersesat” di ibu kota. Yah, mungkin saya memang telah lupa seberapa besar tekanan hidup di Jakarta. Mungkin saya telah lupa bahwa tinggal di Jakarta memang harus galak biar gak digalakin orang. Mungkin saya pun telah lupa bahwa di Jakarta kita tidak boleh lemah apalagi ngalah, sebab kalau kita ngalah maka kita akan mati terinjak atau diinjak. Jadi ingat jargon yang sempat terkenal pada jaman dahulu dan sepertinya masih relevan hingga sekarang: ‘Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri’.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu sebelum saya meninggalkan Jakarta, saya juga sekeras itu? Jika iya, betapa saya bersyukur sempat meninggalkan semua itu, walau hanya sementara. Dan mari kita lihat berapa lama yang Jakarta butuhkan untuk membuat saya kembali menjadi insan Jakarta yang keras!

[Cileungsi, 16 Desember 2012] 

Tuesday, November 6, 2012

Bangku Kosong



“Permisi, ini kosong?” ia menunjuk bangku di sebelahku.

Aku hanya mengangguk dan sedikit menggeser pantatku. Wangi parfum maskulin segera tercium begitu ia duduk.

“Lumayan, bukan bau minyak angin” pikirku.

Sepuluh menit berlalu. Kami sama-sama membisu.

Tiba-tiba ia beranjak, kupikir ia ke toilet. Tapi sepuluh menit berlalu ia belum juga kembali.

“Ke mana dia?”

“Ah, mengapa aku harus mencarinya? Dia kan bukan siapa-siapa”.

Sepuluh menit berikutnya, tidak ada tanda-tanda.

Kemudian dengan refleks atau didorong oleh perasaan entah apa, aku memutar kepalaku mencari sosok lelaki tadi.

Dan di sanalah ia – duduk lima baris di belakangku, bercengkrama akrab dengan seorang gadis.

Dalam hati aku menggerutu “apa sih susahnya memulai percakapan? Kesempatan emas malah disia-siakan”.


[cerita #111Kata dengan tema "kursi" untuk @jejakubikel]

Monday, November 5, 2012

Kisah Tragis di Ermoupoli


Feodora dan Guilio saling mencintai. Namun cinta mereka terhalang tembok perbedaan yang menjulang tinggi. Feodora adalah putri keluarga bangsawan di kota Ermoupoli, sedangkan Guilio hanyalah anak keluarga petani.

Selama dua tahun mereka berhasil menyembunyikan hubungan mereka. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keluarga Feodora akhirnya mengetahui hubungan terlarang itu. Untuk menutupi malu, bangsawan itu menuduh Guilio melakukan guna-guna terhadap Feodora. Tentu saja mereka tidak punya bukti, tapi pengadilan dapat mereka beli. Guilio akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Keesokan harinya Guilio mati di Meja Batu – kepalanya dipenggal. Sesaat kemudian, Feodora pun meregang nyawa di kamarnya. Kepalanya terkulai di meja rias di mana racun ditemukan dalam bubuk bedaknya.


[cerita #111Kata dengan tema "meja", tantangan hari keempat dari @jejakubikel]

Saturday, November 3, 2012

Sendok



Pendingin ruangan sudah dimatikan sedari tadi, kini kamar terasa lembap. Hawa panas menguar dari tubuh telanjang Sandra. Peluh mulai meleleh di dahi dan leher jenjang Sandra, membuat kulit mulusnya bercahaya. Matanya terpejam menghayati, meski kadang membelalak demi kejutan-kejutan kecil yang kerap terjadi. Mulutnya serupa ikan mendamba makan, setengah terbuka menggapai udara. Nafasnya engah beraturan, seiring dengan lenguhan dan erangan yang bergantian.

Mendekati puncak tubuh Sandra semakin gelisah. Panas tubuhnya meningkat tajam. Seketika Sandra merasakan tegang di selangkangan merambati seluruh sel tubuhnya. Gelap! Untuk sesaat Sandra meninggalkan dunia. Lalu erangan panjang mengakhiri perjalanannya.


“Tidididit... Tidididit...” telepon dari suaminya. Segera ia bangkit, memijit tombol terima, dan meletakkan sendok yang basah di atas meja.



[Cerita ini masih cerita #111Kata dengan tema yang sama seperti judulnya, yaitu "sendok" yang jadi tema di hari ke-3 bulan 11 tantangan @jejakubikel]

Ubud


Minggu pagi di desa Campuhan mungkin terlihat seperti pagi-pagi yang lain
Aku akan keluar sebentar, mungkin berjalan-jalan di antara ilalang, 
       atau bersepeda menuju pasar untuk membeli sayur dan buah-buahan
Telah kutinggalkan teh panas untukmu di samping tempat tidur,
       agar uap harumnya membangunkan pulasmu
Maka saat aku kembali, kamu akan berdiri memegang cangkir,
       melepas pandang ke terasering
"Selamat pagi..." kita bertukar sapa dengan hangat,
       mungkin juga ada kecupan ringan mendarat
Lalu kamu duduk di beranda menikmati teh yang tersisa,
       aku ke dapur membuatkan sarapan untuk kita
Pancake pisang dengan perasan jeruk nipis dan madu,
       mangga manis dipotong dadu, dan jus buah jambu

Sisa hari adalah milik waktu
Kita nikmati sepenuhnya tanpa gerutu
Bisa menulis atau membaca buku
Bisa juga belajar melukis telur-telur lucu

Aku dan kamu jatuh cinta pada tempat ini
Entah apakah kita jatuh hati satu sama lain?
Kita tidak mengkonfontasi perasaan
Kita hanya berbagi kecintaan















[ditulis untuk mengenang moment kejatuhanku pada Ubud]

Makan Malam


“Kata Mama kalo lagi makan gak boleh ngomooong...!!!” Reza kecil berteriak dengan mulut penuh nasi campur sayur kangkung. Sementara Rei tak peduli dengan teriakan adiknya dan tetap asyik menceritakan kejadian toilet bocor di Sekolah sambil acuh memamah biak. Duduk di ujung meja, Ayah mereka sedang sibuk bicara dengan telepon genggamnya seperti biasa. Suara tangis Rae kecil melatarbelakangi segala suara yang bersaing menjadi yang terdengar di ruang makan itu.

Ibu datang dari arah dapur membawa piring dengan sikap yang tidak biasa. Semua suara tadi senyap demi melihat ke arah Ibu. Piring tadi Ibu letakkan di tengah-tengah meja. Ada lidah Ibu di sana, dengan pesan bertuliskan: “tutup mulut kalian dan makanlah dengan tenang!”


[Cerita ini adalah cerita #111Kata dengan tema "piring" yang ditulis untuk @jejakubikel. Tantangan #111Kata @jejakubikel hari ke-2 di bulan 11]

Kamu Berubah...

Sudah dua puluh lima menit berlalu sejak ia pergi meninggalkan apartemen studioku. Tapi bagiku waktu serasa tak pernah beranjak. Aku membatu di bangku kayu tanpa senderan di hadapan meja makan. Mencoba merasakan hangat di kening tempat ia mendaratkan kecupan sesaat sebelum pergi, tapi yang kurasa hanya dingin.

Ia datang untuk mengucap perpisahan. Tapi potongan kenangan bersamanya selama enam tahun terakhir berseliweran di dalam kepala, membuyarkan suara lembutnya, mengabaikan penjelasannya. Ah, tapi tanpa penjelasan lisanpun visual sudah berkata banyak. Lelakiku berubah. Bibirnya, aku tak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Bibir yang diam-diam kukagumi dan kurindukan, kini berwarna merah. Mataku masih tak lepas menatap bekas gincu di cangkir kopi yang ia tinggalkan.


[Cerita ini adalah cerita #111Kata dengan tema "cangkir". Cerita #111Kata ini ditulis untuk menjawab tantangan dari @jejakubikel di bulan 11]

Wednesday, October 17, 2012

Samgyetang


Ada yang tahu atau minimal pernah dengar kata “samgyetang”? Samgyetang sama sekali bukan kata dalam bahasa alay semacam “ciyus” atau “miapah”, ciyusan deh.. Hehe.. Samgyetang adalah salah satu masakan tradisional korea berupa sup ayam ginseng. Orang Korea biasanya memakan samgyetang pada tiga hari istimewa di musim panas, yaitu: chobok, jungbok, dan malbok yang konon merupakan tiga hari terpanas dalam setahun.

Kenapa saya tiba-tiba posting tentang masakan korea? Ini juga bukan lantaran gegar budaya Korea yang sedang menyergap Indonesia. Saya berbuat ini semata-mata mau membanggakan Ibu saya yang bisa masak samgyetang. Yup! Benar sekali, Ibu saya yang wanita sederhana dan kurang modern itu bisa masak makanan tradisional dari negeri ginseng. Hebat kan??? *bangga setengah mati*

Yah, meskipun apa yang Ibu saya masak mungkin jauh dari mirip bila dibandingkan dengan masakan aslinya. Tapi ini bisa dimaklumi karena Ibu saya memang tidak menggunakan resep asli dari Korea. Well, how would she know the recipe? She can’t even say the name correctly. Ibu saya menyebut samgyetang sebagai sanggeta. Begitulah yang beliau dengar dari sumbernya (Budhe saya – another modest woman in the family) dan begitu pula yang lidah beliau mampu lafalkan. Budhe saya ini bekerja sebagai juru masak di rumah orang Korea. Karena pekerjaannya lah beliau mengenal beberapa masakan Korea seperti kimchi dan samgyetang ini. Tidak jarang pula beliau memasak makanan Korea ini di rumah. Jadi, sebelum demam K-Pop melanda Indonesia, kami sudah sering makan kimchi sejak belasan tahun lalu… ;)

Jadi adik bungsu saya yang baru berulang tahun awal Oktober kemarin tiba-tiba ngidam pengen dimasakin samgyetang. Ibu saya pun lalu mengolah tiga ekor ayam menjadi simplified samgyetang. Saya sebut simplified karena memang bahan-bahan yang digunakan oleh Ibu saya jauh lebih sederhana dari resep aslinya. Biar nambah khasanah resep bagi yang rajin masak, berikut saya tuliskan resepnya:
Bahan Utama:
  • 1 ekor ayam utuh (450 ~ 500 gr)
  • 50 gr beras ketan
  • 1 biji buah berangan
  • 2 biji buah ginkgo
  • 1 akar ginseng basah
  • 2 buah kurma Korea
  • Daun bawang, sedikit garam dan lada
Bahan untuk Kuah:
  • 2 liter air
  • 10 gr jahe
  • 100 gr lobak
  • 10 siung bawang putih
  • 5 gr Gamcho (akar manis)
  •  5 gr Hwanggi (akar kuning)
Cara Memasak:
  1. Keluarkan bagian dalam perut ayam, bersihkan kemudian potong bagian buntut ayam
  2. Isi perut ayam dengan beras ketan yang sudah dibersihkan dan direndam 1 jam dalam air dingin
  3. Masukkan buah berangan dan ginkgo serta ginseng basah ke dalam perut ayam
  4. Kaki ayam disilangkan dan diikat dengan benang
  5. Rebus 2 liter air bersama jahe, lobak, akar manis, akar kuning, dan bawang putih selama 30 menit, kemudian bahan di dalam kuah dibuang kecuali bawang putih
  6. Masukkan ayam ke dalam kuah lalu direbus kembali di atas api besar selama 40 menit lali kecilkan api dan masak selama 10 menit
  7. Pindahkan ayam ke mangkuk, tuangkan kuah yang sudah disaring lemaknya, taburi daun bawang yang telah dipotong-potong, dan dibumbui dengan garam dan lada.
Catatan: Resep untuk satu orang.

Nah, bahan-bahan yang disebutkan dalam resep tersebut di atas tidak semuanya Ibu saya pakai. Mungkin karena beliau tidak bisa menemukannya di supermarket terdekat, atau bisa jadi memang beliau tidak tahu seluruh bahan tersebut. Bisa jadi juga resep tersebut sudah dimodifikasi oleh Budhe saya menjadi lebih sederhana sehingga lebih mudah dibuat.

Singkat cerita, Voila!! Jadilah tiga ekor ayam berisi nasi ketan yang berenang dalam kuah bersama ginseng dan akar-akaran entah apa di dalam sebuah panci besar di dapur Ibu saya. Sebenarnya ayam dan nasi ketannya sendiri nyaris tidak ada rasanya (hambar), maka orang Korea biasa memakannya dengan garam, lada, dan kimchi untuk rasa-rasa. Sedangkan adik saya lebih suka memakannya dengan saus cabe. Saya sendiri memilih memakannya dengan sambel ulek... :-9

So, kamu mengaku sebagai pengagum budaya Korea? Apakah Ibu kamu bisa masak makanan Korea? Ibu saya bisa doooong...!! :-P

Saturday, October 13, 2012

Ngeksis di Social Media Fest 2012


Sebagai anak twitter yang cukup aktif (11.600 tweets sejak 2009 lumayan lah yaa..?!), rasanya dosa aja kalo gak datang ke acara Social Media Festival 2012 yang kali ini diadakan di Gelanggang Renang Senayan. Maka di Sabtu siang yang panasnya nyaris tak termaafkan, saya niat banget setor muka ke event tahunan anak-anak Socmed ini. Niat banget karena saya ke sini naik Trans Jakarta (bukan taksi), dan berjalan kaki dari Halte GBK ke dalam Senayan. Pffiiuuhh… Lumayan jauh ya ternyata?! Etapi gak nyesel lho ke sini karena di luar dugaan ternyata rame banget!!

Saya pikir selama ini saya sudah follow cukup banyak akun komunitas yang keren-keren di twitter, tapi ternyata yang saya follow itu belum lah seberapa. Ternyata masih buanyak banget akun-akun keren yang selama ini saya gak tahu. Dari 130 komunitas yang meramaikan SocMedFest 2012 ini paling baru 5% nya saja yang saya kenal. Komunitas jalan-jalan aja ada kali 10 lebih. Secara hobby saya jalan-jalan, jadi yang pertama dituju pasti booth-booth ini, hehe... Belum lagi komunitas lingkungan, komunitas hobi, dan komunitas gerakan social yang jumlahnya juga banyak. Hebat! Salut deh sama anak-anak muda Indonesia dan pengaruh sosial media di kehidupan masyarakat kita.

Ada juga satu komunitas yang bukan jalan-jalan tapi sangat menarik perhatian saya, yaitu “Indonesia Berkebun”. Boothnya kreatif banget dihias sama bunga-bunga dan tempat sampah daur ulang. Segala hal yang berbau daur ulang saya suka! Mereka juga menyediakan permainan tradisional congklak loh.. Kita bisa nostalgia masa kecil sambil numpang duduk lesehan di depan booth mereka.. J


Hmm, sambil lihat-lihat booth komunitas saya juga menyempatkan diri mampir ke booth Acer. Soalnya emang lagi ada rencana pengen beli laptop baru sih.. (horang kayah!). Booth Acer terang banget dan rame! Cukup mencolok di antara booth-booth tetangganya karena terlihat paling lux.



Dan ternyata promo yang ditawarkan di booth Acer ini sangat menggiurkan. Ada cashback Rp. 500.000,- plus narik lucky dip dari fish bowl yang isinya minimal voucher Rp. 100.000,-. Nah, udah minimal dapet korting Rp. 600.000,- aja donk! Apalagi laptop yang saya incar (Acer Aspire S3 Ultrabook ) menawarkan lagi banyak free bonus, termasuk free external DVD dan converter HDMI to VGA (ngeces). Ini laptop tuh langsing banget, lebih langsing dari saya pastinya. Dan layarnya lebih besar dari yang saya punya sekarang (13.3”). Looks light, warnanya kalem dan modelnya sophisticated. Di luar itu, eh di dalam itu, processor dan memorinya mumpuni banget buat saya. Tapiiii…. Huufftt.. Apa daya isi dompet belum mengijinkan untuk beli-beli lagi.. Hiks!


Dan sodara-sodara sebangsa dan seranah twitter, ada bocoran nih... Di booth Acer ini ada dipajang produk Acer yang baru mau akan dilaunch sekitar akhir Oktober nanti. Bahkan harganya belum keluar! This is like Acer's Top Secret... Sssttt.. Konon laptop yang bakal menyandang nama Acer Aspire S7 (kakaknya S3 dan S5) ini dibuat untuk Windows 8! Kelihatan sangat canggih dengan fitur touch screen. Warnanya putih (one of my favorite color) dan modelnya jauh lebih canggih lagi dari adik-adiknya. Langsung ngeces maksimal. Hmm, kira-kira bakal dibandrol di harga berapa yaaa??? (cek limit CC dan kemudian tertunduk lesu). Sayang gak sempat foto penampakannya secara tadi rame banget di sekitar situ. Pada norak deh nih orang-orang liat laptop touch screen, termasuk saya juga sih... Hehehe...






Monday, October 1, 2012

I've Loved You Before I Met You


Kamu boleh percaya boleh tidak pada apa yang akan kukatakan. “I’ve loved you before I met you”. Mirip lirik lagu? Yah begitulah.. Gombal? Sayangnya gombal hampir selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak benar, jadi aku menolak disebut gombal. Karena apa yang barusan kukatakan memang benar seutuhnya, tidak ada yang dilebih-lebihkan.

Aku mencintaimu bahkan sebelum ruh kita ditiupkan ke dalam tubuh. Jangan tanya dengan apa aku mencintaimu tanpa ruh, karena aku pun tak tahu. Mungkin saja gumpalan dagingku nyaman berada dekat dengan gumpalan dagingmu, sesederhana itu. Kamu lihat? Bahkan sebelum tubuh kita mempunyai bentuk, aku sudah tahu kalau kamu ada di sisiku.

Setelah kita sama-sama punya tangan, kita bisa saling menyentuh. Aku suka menyentuh tubuhmu. Tidak, ini bukan kurang ajar, ini kasih sayang. Waktu itu kita juga berbagi makanan yang sama. Ingatkah kamu? Aku sering mengalah padamu soal makanan ini. Aku rela kamu dapat bagian lebih banyak. Aku senang melihat pergerakan perutmu setiap kali kamu merasa kenyang, itu luar biasa lucu! Sekaligus menenangkan.. Kamu harus makan banyak karena kamu perlu energi untuk bertahan di sana, juga untuk keluar dari sana. Bukannya aku tidak butuh, tapi kan aku sayang kamu. Jadi wajar saja kalau aku mendahulukanmu.

Kita berbagi kekhawatiran yang sama saat itu. Apakah kita berdua bisa keluar dari sana hidup-hidup? Aku bisa merasakan kamu demikian gelisah hingga tubuhmu bergetar hebat, sepertinya aku bisa melihat air mata di sudut matamu yang tepejam. Entahlah, aku tidak yakin. Tapi dengan perasaan yang juga berguncang, kusentuh tubuhmu pelan dan kukirimkan pesan melalui sentuhan, bahwa tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan melakukan apapun untuk menjagamu dengan segenap kemampuanku.

Pada suatu hari di bulan September, kamu mengatakan bahwa hari  itu adalah hari baik. Entah dari mana kamu tahu kalau itu hari baik, mungkin arwah-arwah leluhur yang membisikkannya di telingamu. Kamu bilang kamu ingin hari baik itu jadi hari yang bersejarah bagi kita berdua. Dan begitu saja kita memutuskan untuk mengakhiri persembuyian kita dan keluar melihat dunia yang cahayanya menyilaukan.

Apa yang terjadi kemudian di hari itu aku tidak terlalu bisa mengingatnya. Aku hanya ingat mereka – tangan-tangan besar yang licin dan berbau aneh, mengambilmu lebih dulu. Aku bisa mendengarmu meneriakkan namaku – padahal saat itu aku belum punya nama, tapi aku tahu kamu memanggilku dalam jeritan nyaring dengan nada yang berulang-ulang. Mungkin kamu takut berpisah dariku. Saat itu aku merasa seperti mau mati. Ruhku hendak beranjak meninggalkan tubuhku. Aku tak bisa membalas panggilanmu, aku begitu lemah. Aku begitu takut akan kehilangan dirimu. Lalu aku berharap – saat itu aku belum bisa berdoa, sangat berharap agar aku bisa bersamamu lagi. Dan harapanku terkabul. Kita berdua lahir dengan selamat di hari baik pada bulan September.

Kenangan purba tentang hangatnya rahim dan kebersamaan denganmu di dalamnya kerap muncul dalam momen-momen dejavu. Karenanya aku tahu aku memang mencintaimu sejak mula dulu. Tapi semenjak hari baik dulu itu, kita dipisahkan oleh tembok tak kasat mata bernama norma. Mereka bilang kita tak semestinya saling mencintai. Bukan, bukan begitu. Maksudnya, kita boleh saja saling mencintai, tapi tidak dengan cara yang kita yakini. Kamu adalah adik kandungku – karena kamu keluar lebih dulu, jadi aku hanya boleh mencintaimu sebagai kakak. Kita dilarang mencintai dengan keintiman yang dulu kita miliki di dalam rahim.

Kamu tahu Dik? Kita tak mungkin bersama. Bukannya aku tak mau memperjuangkan kita, tapi dinding yang melingkupi kita kali ini jauh lebih keras dan liat dibanding dinding tempat kita bersemayam dulu. Dinding yang ini tak mungkin kita lawan. Kamu tak ingin membuat Ibu terluka, bukan?

Dengar Dik.. Kita tak bisa bersama, tapi aku ingin kamu mengingat kalimatku ini: I’ve loved you before I met you… And I will always love you until we meet again in the afterlife…


With Love,
Your brother

Sunday, September 30, 2012

Piramida Tawuran

Miris rasanya membaca atau mendengar berita tentang tawuran antar pelajar. Apalagi kalau sampai memakan korban jiwa. Tidak terbayangkan perasaan orang tua korban tawuran yang mungkin sudah susah payah menyekolahkan anak mereka dengan harapan suatu hari nanti bisa jadi “orang”, jadi kebanggaan keluarga, atau setidaknya mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, anak yang dihujani harapan tersebut mati konyol di tangan anak-anak sebayanya, atas dasar entah apa.

Peristiwa mengenaskan tersebut membuat saya menengok ke belakang. Apa yang saya lakukan dulu saat saya seusia mereka? Apakah saya terlihat sama seperti mereka? Bagaimana tawuran di mata saya waktu itu?
Seperti sebagian besar dari kita, saya pernah juga SMA. Dan kadang saya juga melihat tawuran. Tapi beruntung sekolah tempat saya belajar bukan peserta aktif tawuran antar sekolah. Meski pernah juga kami tawuran dengan sesama penghuni sekolah, kakak kelas. Tapi yah, hanya sebatas kejar-kejaran di sekitar sekolah, dengan ending kami semua dikejar oleh Guru BP. Hehehe…

Di mata anak-anak STM atau SMA lain, kami mungkin terlihat culun, cupu kata anak sekarang. Karenanya tidak pernah ada sekolah lain yang menantang kami untuk tawuran. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka tidak berani mengganggu kami. Karena walaupun penampilan kami cupu, setiap hari bawa gunungan buku, tapi mereka tahu kami bisa jadi sangat berbahaya.

Kami adalah anak-anak yang kesehariannya berkutat dengan bahan-bahan kimia. Kami bisa saja membuat sebuah bom sederhana, atau paling tidak kami punya larutan asam pekat yang akan memakan apapun yang dikenainya. Kalau sampai kami harus turun ke jalan (baca: tawuran), maka saat anak-anak dari STM membawa parang, celurit, samurai, atau gir bersabuk, kami cukup membawa pistol air yang berisi asam pekat. Dijamin kami pasti menang! Tapi tolong jangan dicontoh ide konyol ini ya adik-adik. Percayalah, mendapatkan asam pekat itu tidak semudah mendapatkan asam cuka.

Anyway, tawuran antar pelajar telah menarik perhatian banyak pihak. Bola panas dilemparkan ke sana ke mari mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas trend brutal tersebut. Katanya ini adalah tanggung jawab Sekolah dan para Guru, ada juga yang bilang ini tanggung jawab pemerintah terutama Dinas Pendidikan yang dianggap gagal menciptakan sistem pendidikan yang berperikemanusiaan. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan bahwa masyarakat juga ikut bertanggung jawab karena membiarkan hal berbahaya itu terjadi di depan mata. Media yang tidak mendidik dan kerap menampilkan kekerasan juga ikut dipersalahkan atas pengaruhnya yang sangat kuat pada mereka. Orang tua atau pihak keluarga dari anak-anak yang tawuran (termasuk korbannya) juga tidak luput dari tudingan tidak mampu mendidik anak-anak mereka.

Lalu bagaimana dengan anak-anak itu sendiri? Anak-anak yang berlarian sambil membawa senjata tajam atau mengambil dan melemparkan batu-batu di jalan? Anak yang berhasil lari lebih cepat dari lawannya dan dengan tangannya sendiri menebas atau menikam atau memukul anak lain yang dianggap musuhnya. Apakah mereka tidak bisa disalahkan?

Kita sepertinya sepakat bahwa apa yang anak-anak itu lakukan adalah tanggung jawab orang-orang yang ada di sekitarnya, termasuk dalam lingkup lebih luas, tanggung jawab Negara yang ditinggalinya. Mengapa harus begitu? Padahal secara usia mereka sudah bukan anak-anak lagi, mereka sudah remaja (bila tidak bisa dibilang dewasa). Bukankah seharusnya di usia tersebut mereka sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk? Mereka sudah tahu dan paham bahwa menyerang orang lain apalagi sampai menyebabkan kehilangan nyawa adalah sebuah kejahatan dan tidak sepatutnya dilakukan. And they do it anyway, in a  mob…

Seorang pelajar yang diduga bertanggung jawab atas kematian salah satu korban tawuran dan kemudian tertangkap mengaku PUAS telah membunuh pelajar lain yang ia anggap sebagai lawannya. Dia PUAS! Dan saya yakin kita semua lemas mendengarnya. Ini jelas sebuah kejahatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan niat. Niat untuk membunuh dan kepuasan setelah berhasil itu datang dari seorang anak usia sekolah menengah. Apa yang Anda pikirkan?
Jika kita menganalogikan fenomena ini menjadi sebuah bagan piramida seperti “Piramida Kecelakaan” yang biasa digunakan oleh divisi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) sebuah perusahaan, maka kita akan mendapat gambaran sebagai berikut:


Dalam piramida kecelakaan, puncak piramida ditempati oleh Fatality atau kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian. Di bawahnya adalah kecelakaan yang mengakibatkan Lost Time atau kehilangan waktu kerja tapi tidak menyebabkan kematian. Di bawahnya lagi adalah kecelakaan yang terjadi tapi tidak menyebabkan lost time maupun fatality. Di bawahnya lagi adalah Near Miss atau kejadian hampir kecelakaan, tapi tidak menyebabkan kecelakaan, hanya nyaris celaka (dalam dunia K3, semua hal ini idealnya tercatat dan terukur). Dan yang paling bawah adalah Unsafe Acts and Unsafe Condition yaitu keadaan tidak aman (tempat, alat, prosedur, sistem kerja) dan tidakan tidak aman.

Satu kali tindakan tidak aman dilakukan dalam pekerjaan mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa. Tapi jika tindakan tidak aman itu terus dilakukan maka suatu hari near miss pasti terjadi. Demikian juga near misses yang dibiarkan akan menyebabkan insiden, begitu seterusnya hingga suatu hari semua keadaan itu akan menyebabkan satu kematian. Dengan kata lain, satu fatality adalah akibat dari banyaknya tindakan tidak aman yang terus menerus dilakukan.

Nah, demikian kita bisa melihat fenomena adanya kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelajar dianalogikan dalam piramida. Pemerintahan sebagai fondasi dari piramida memegang peranan penting dalam penciptaan seorang kriminal muda. Ignorance yang berkelanjutan dari bawah menyebabkan kegagalan-kegagalan elemen di atasnya hingga mencapai puncak piramida.

Tapi perbaikan yang harus dilakukan tetap dimulai dari pribadi si anak sendiri. Ia adalah orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan dengan tangannya sendiri. Kemudian keluarga sebagai lingkaran yang paling dekat dengan dirinya seharusnya bisa memberikan pengaruh yang baik. Disusul dengan institusi sekolah dan masyarakat, termasuk media. Kemudian pemerintah sebagai otoritas penyusun sistem pendidikan. Ini adalah PR bersama, dan sudah seharusnya dikerjakan bersama-sama pula.