Monday, October 1, 2012

I've Loved You Before I Met You


Kamu boleh percaya boleh tidak pada apa yang akan kukatakan. “I’ve loved you before I met you”. Mirip lirik lagu? Yah begitulah.. Gombal? Sayangnya gombal hampir selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak benar, jadi aku menolak disebut gombal. Karena apa yang barusan kukatakan memang benar seutuhnya, tidak ada yang dilebih-lebihkan.

Aku mencintaimu bahkan sebelum ruh kita ditiupkan ke dalam tubuh. Jangan tanya dengan apa aku mencintaimu tanpa ruh, karena aku pun tak tahu. Mungkin saja gumpalan dagingku nyaman berada dekat dengan gumpalan dagingmu, sesederhana itu. Kamu lihat? Bahkan sebelum tubuh kita mempunyai bentuk, aku sudah tahu kalau kamu ada di sisiku.

Setelah kita sama-sama punya tangan, kita bisa saling menyentuh. Aku suka menyentuh tubuhmu. Tidak, ini bukan kurang ajar, ini kasih sayang. Waktu itu kita juga berbagi makanan yang sama. Ingatkah kamu? Aku sering mengalah padamu soal makanan ini. Aku rela kamu dapat bagian lebih banyak. Aku senang melihat pergerakan perutmu setiap kali kamu merasa kenyang, itu luar biasa lucu! Sekaligus menenangkan.. Kamu harus makan banyak karena kamu perlu energi untuk bertahan di sana, juga untuk keluar dari sana. Bukannya aku tidak butuh, tapi kan aku sayang kamu. Jadi wajar saja kalau aku mendahulukanmu.

Kita berbagi kekhawatiran yang sama saat itu. Apakah kita berdua bisa keluar dari sana hidup-hidup? Aku bisa merasakan kamu demikian gelisah hingga tubuhmu bergetar hebat, sepertinya aku bisa melihat air mata di sudut matamu yang tepejam. Entahlah, aku tidak yakin. Tapi dengan perasaan yang juga berguncang, kusentuh tubuhmu pelan dan kukirimkan pesan melalui sentuhan, bahwa tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan melakukan apapun untuk menjagamu dengan segenap kemampuanku.

Pada suatu hari di bulan September, kamu mengatakan bahwa hari  itu adalah hari baik. Entah dari mana kamu tahu kalau itu hari baik, mungkin arwah-arwah leluhur yang membisikkannya di telingamu. Kamu bilang kamu ingin hari baik itu jadi hari yang bersejarah bagi kita berdua. Dan begitu saja kita memutuskan untuk mengakhiri persembuyian kita dan keluar melihat dunia yang cahayanya menyilaukan.

Apa yang terjadi kemudian di hari itu aku tidak terlalu bisa mengingatnya. Aku hanya ingat mereka – tangan-tangan besar yang licin dan berbau aneh, mengambilmu lebih dulu. Aku bisa mendengarmu meneriakkan namaku – padahal saat itu aku belum punya nama, tapi aku tahu kamu memanggilku dalam jeritan nyaring dengan nada yang berulang-ulang. Mungkin kamu takut berpisah dariku. Saat itu aku merasa seperti mau mati. Ruhku hendak beranjak meninggalkan tubuhku. Aku tak bisa membalas panggilanmu, aku begitu lemah. Aku begitu takut akan kehilangan dirimu. Lalu aku berharap – saat itu aku belum bisa berdoa, sangat berharap agar aku bisa bersamamu lagi. Dan harapanku terkabul. Kita berdua lahir dengan selamat di hari baik pada bulan September.

Kenangan purba tentang hangatnya rahim dan kebersamaan denganmu di dalamnya kerap muncul dalam momen-momen dejavu. Karenanya aku tahu aku memang mencintaimu sejak mula dulu. Tapi semenjak hari baik dulu itu, kita dipisahkan oleh tembok tak kasat mata bernama norma. Mereka bilang kita tak semestinya saling mencintai. Bukan, bukan begitu. Maksudnya, kita boleh saja saling mencintai, tapi tidak dengan cara yang kita yakini. Kamu adalah adik kandungku – karena kamu keluar lebih dulu, jadi aku hanya boleh mencintaimu sebagai kakak. Kita dilarang mencintai dengan keintiman yang dulu kita miliki di dalam rahim.

Kamu tahu Dik? Kita tak mungkin bersama. Bukannya aku tak mau memperjuangkan kita, tapi dinding yang melingkupi kita kali ini jauh lebih keras dan liat dibanding dinding tempat kita bersemayam dulu. Dinding yang ini tak mungkin kita lawan. Kamu tak ingin membuat Ibu terluka, bukan?

Dengar Dik.. Kita tak bisa bersama, tapi aku ingin kamu mengingat kalimatku ini: I’ve loved you before I met you… And I will always love you until we meet again in the afterlife…


With Love,
Your brother

No comments:

Post a Comment