Kamu boleh percaya boleh tidak pada apa yang
akan kukatakan. “I’ve loved you before I
met you”. Mirip lirik lagu? Yah begitulah.. Gombal? Sayangnya gombal hampir
selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak benar, jadi aku menolak disebut
gombal. Karena apa yang barusan kukatakan memang benar seutuhnya, tidak ada
yang dilebih-lebihkan.
Aku mencintaimu bahkan sebelum ruh kita
ditiupkan ke dalam tubuh. Jangan tanya dengan apa aku mencintaimu tanpa ruh, karena
aku pun tak tahu. Mungkin saja gumpalan dagingku nyaman berada dekat dengan
gumpalan dagingmu, sesederhana itu. Kamu lihat? Bahkan sebelum tubuh kita
mempunyai bentuk, aku sudah tahu kalau kamu ada di sisiku.
Setelah kita sama-sama punya tangan, kita
bisa saling menyentuh. Aku suka menyentuh tubuhmu. Tidak, ini bukan kurang
ajar, ini kasih sayang. Waktu itu kita juga berbagi makanan yang sama. Ingatkah
kamu? Aku sering mengalah padamu soal makanan ini. Aku rela kamu dapat bagian
lebih banyak. Aku senang melihat pergerakan perutmu setiap kali kamu merasa
kenyang, itu luar biasa lucu! Sekaligus menenangkan.. Kamu harus makan banyak
karena kamu perlu energi untuk bertahan di sana, juga untuk keluar dari sana.
Bukannya aku tidak butuh, tapi kan aku sayang kamu. Jadi wajar saja kalau aku
mendahulukanmu.
Kita berbagi kekhawatiran yang sama saat itu.
Apakah kita berdua bisa keluar dari sana hidup-hidup? Aku bisa merasakan kamu
demikian gelisah hingga tubuhmu bergetar hebat, sepertinya aku bisa melihat air
mata di sudut matamu yang tepejam. Entahlah, aku tidak yakin. Tapi dengan
perasaan yang juga berguncang, kusentuh tubuhmu pelan dan kukirimkan pesan
melalui sentuhan, bahwa tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku akan
melakukan apapun untuk menjagamu dengan segenap kemampuanku.
Pada suatu hari di bulan September, kamu
mengatakan bahwa hari itu adalah hari
baik. Entah dari mana kamu tahu kalau itu hari baik, mungkin arwah-arwah
leluhur yang membisikkannya di telingamu. Kamu bilang kamu ingin hari baik itu
jadi hari yang bersejarah bagi kita berdua. Dan begitu saja kita memutuskan untuk
mengakhiri persembuyian kita dan keluar melihat dunia yang cahayanya
menyilaukan.
Apa yang terjadi kemudian di hari itu aku
tidak terlalu bisa mengingatnya. Aku hanya ingat mereka – tangan-tangan besar
yang licin dan berbau aneh, mengambilmu lebih dulu. Aku bisa mendengarmu
meneriakkan namaku – padahal saat itu aku belum punya nama, tapi aku tahu kamu
memanggilku dalam jeritan nyaring dengan nada yang berulang-ulang. Mungkin kamu
takut berpisah dariku. Saat itu aku merasa seperti mau mati. Ruhku hendak
beranjak meninggalkan tubuhku. Aku tak bisa membalas panggilanmu, aku begitu
lemah. Aku begitu takut akan kehilangan dirimu. Lalu aku berharap – saat itu
aku belum bisa berdoa, sangat berharap agar aku bisa bersamamu lagi. Dan
harapanku terkabul. Kita berdua lahir dengan selamat di hari baik pada bulan
September.
Kenangan purba tentang hangatnya rahim dan
kebersamaan denganmu di dalamnya kerap muncul dalam momen-momen dejavu. Karenanya aku tahu aku memang
mencintaimu sejak mula dulu. Tapi semenjak hari baik dulu itu, kita dipisahkan
oleh tembok tak kasat mata bernama norma. Mereka bilang kita tak semestinya
saling mencintai. Bukan, bukan begitu. Maksudnya, kita boleh saja saling
mencintai, tapi tidak dengan cara yang kita yakini. Kamu adalah adik kandungku
– karena kamu keluar lebih dulu, jadi aku hanya boleh mencintaimu sebagai
kakak. Kita dilarang mencintai dengan keintiman yang dulu kita miliki di dalam
rahim.
Kamu tahu Dik? Kita tak mungkin bersama.
Bukannya aku tak mau memperjuangkan kita, tapi dinding yang melingkupi kita
kali ini jauh lebih keras dan liat dibanding dinding tempat kita bersemayam
dulu. Dinding yang ini tak mungkin kita lawan. Kamu tak ingin membuat Ibu
terluka, bukan?
Dengar Dik.. Kita tak bisa bersama, tapi aku ingin kamu mengingat kalimatku ini: I’ve loved you before I met you… And I will always love you until we meet again in the afterlife…
With Love,
Your brother
No comments:
Post a Comment