Sudah dua puluh lima menit berlalu sejak ia pergi meninggalkan
apartemen studioku. Tapi bagiku waktu serasa tak pernah beranjak. Aku membatu
di bangku kayu tanpa senderan di hadapan meja makan. Mencoba merasakan hangat
di kening tempat ia mendaratkan kecupan sesaat sebelum pergi, tapi yang kurasa
hanya dingin.
Ia datang untuk mengucap perpisahan. Tapi potongan
kenangan bersamanya selama enam tahun terakhir berseliweran di dalam kepala,
membuyarkan suara lembutnya, mengabaikan penjelasannya. Ah, tapi tanpa
penjelasan lisanpun visual sudah berkata banyak. Lelakiku berubah. Bibirnya, aku
tak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Bibir yang diam-diam kukagumi
dan kurindukan, kini berwarna merah. Mataku masih tak lepas menatap bekas gincu
di cangkir kopi yang ia tinggalkan.
[Cerita ini adalah cerita #111Kata dengan tema "cangkir". Cerita #111Kata ini ditulis untuk menjawab tantangan dari @jejakubikel di bulan 11]
No comments:
Post a Comment