Meninggalkan ibu kota selama lima minggu ternyata mampu membuat saya
merasa asing begitu menginjakan kaki di kota ini lagi. Bukan sih karena
pembangunan atau perubahan infrastruktur yang sebegitu pesat sampai sulit
dikenali, semata-mata hanya karena saya lupa bagaimana rasanya hidup di kota
metropolitan sebesar Jakarta. Bisa jadi otak saya memang sudah tercuci oleh
segala hal yang terjadi lima minggu belakangan.
Sedikit flash back, lima minggu
yang lalu (tepatnya tanggal 7 November 2012) saya terbang meninggalkan Jakarta
di pagi buta – flight pertama pukul
06:00 ke Bali. Setelah itu saya menikmati hari demi hari yang kadang penuh
petualangan, kadang penuh ketenangan. Melipir dari pulau Bali ke Lombok,
menjajal fisik dan mental ke ketinggian gunung Rinjani, snorkeling santai di Gili Trawangan, menyaksikan pawai budaya
Festival Moyo 2012 di Sumbawa, bersantai di Pulau Moyo, menanam pohon dan
terumbu karang di Calabai, mencicipi susu kuda liar di Dompu, melewati Bima
terus ke Sape, menyeberang ke Labuan Bajo, menengok komodo di Pulau Komodo, melihat
sawah yang mirip sarang laba-laba di Ruteng, berkunjung ke Desa Bena dan Desa
Luba (desa tradisional) di Bajawa dan berendam di sumber air panas Soa, mencari
matahari terbit di Danau Kelimutu, kembali ke Ende untuk menunggu ferry ke
Kupang, dan terakhir bersantai di Kupang sampai waktunya kembali ke Jakarta.
Pffiiuuhhh... Such a short journey..
Hahahaha.. J
Tanggal 14 Desember 2012 saya tiba kembali dengan selamat – walau dalam
keadaan yang agak kusam, di Jakarta. Dijemput oleh adik tercinta di Bandara
Cengkareng – mungkin ia takut kakaknya nyasar atau lupa jalan pulang, proses perkenalan
kembali dengan adat istiadat dan budaya kota besar Jakarta pun dimulai.
Waktu itu hari Jumat, kami (saya, adik saya, dan Marni – mobil adik saya)
meninggalkan Bandara sekitar pukul 16:00 WIB. Macet? Gak usah ditanya. Sekarang
sepertinya ‘tidak macet’ adalah sesuatu yang di atas normal bagi Kota Jakarta.
Jadi di sanalah kami, di tengah kemacetan tol Bandara, beringsut sedikit demi
sedikit seperti siput di antara siput-siput lainnya. Tiba-tiba terdengar sirine
yang cukup mengganggu, itulah voorider
rombongan entah siapa yang memaksa meminta jalan. Adik saya yang sudah bete sedari tadi seketika emosinya melonjak
naik dan tidak punya niat sama sekali memberi jalan. “Gue juga pengguna jalan!
Gue bayar tol! Enak aja nyuruh-nyuruh gue minggir!” begitulah adik saya
meluapkan emosinya di sebelah saya. Tapi apa daya motor besar itu begitu
mengintimidasi dan akhirnya berhasil memberikan jalan leluasa bagi
iring-iringan mobil di belakangnya. Sekali lagi adik saya “nge-rap” di belakang
kemudi. Lalu setiap kali adik saya berusaha masuk ke dalam barisan dan tidak
diberi jalan, ia langsung mengumpat “Pelit! Biarin aja kalo pelit nanti
kuburannya sempit!”. Setelah lepas jauh dari jalan tol, ada seorang laki-laki
yang menyebrang jalan dan hampir terkena moncongnya Marni. Adik saya menekan
klakson dengan marah. Lalu mereka (adik saya dan si penyeberang jalan) saling
beradu besar bola mata. Tentu saja adik saya kalah (matanya sama sipitnya
seperti saya) tapi kilatan yang terpancar dari matanya seakan berkata “don’t
mess with this girl!”. Hahahaha...
Sebenarnya saya sedikit shock melihat adik saya sekeras itu – seperti Tyranosaurus
belum buka puasa. Tapi saya hanya bisa duduk diam di bangku penumpang dan
terbengong-bengong seperti orang ling-lung. Setiap kali adik saya mengumpat
marah, dalam hati saya hanya berkata “ya ampun, harus ya marah-marah sampe
segitunya??”
Saya merasa “tersesat” di ibu kota. Yah, mungkin saya memang telah lupa
seberapa besar tekanan hidup di Jakarta. Mungkin saya telah lupa bahwa tinggal
di Jakarta memang harus galak biar gak digalakin orang. Mungkin saya pun telah
lupa bahwa di Jakarta kita tidak boleh lemah apalagi ngalah, sebab kalau kita
ngalah maka kita akan mati terinjak atau diinjak. Jadi ingat jargon yang sempat
terkenal pada jaman dahulu dan sepertinya masih relevan hingga sekarang: ‘Ibu
Kota lebih kejam dari Ibu Tiri’.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu sebelum saya meninggalkan
Jakarta, saya juga sekeras itu? Jika iya, betapa saya bersyukur sempat
meninggalkan semua itu, walau hanya sementara. Dan mari kita lihat berapa lama
yang Jakarta butuhkan untuk membuat saya kembali menjadi insan Jakarta yang
keras!
[Cileungsi, 16 Desember 2012]
Dear all yang membaca post ini, perkenalkan saya si adik yang diceritakan di atas. tapi sebetulnya saya manis kok, boleh diicip :P
ReplyDeleteOh baydeway, sikap keras itu menular. so be careful Jakartans ;)