Monday, December 24, 2012

Lost In "Civilization"


Meninggalkan ibu kota selama lima minggu ternyata mampu membuat saya merasa asing begitu menginjakan kaki di kota ini lagi. Bukan sih karena pembangunan atau perubahan infrastruktur yang sebegitu pesat sampai sulit dikenali, semata-mata hanya karena saya lupa bagaimana rasanya hidup di kota metropolitan sebesar Jakarta. Bisa jadi otak saya memang sudah tercuci oleh segala hal yang terjadi lima minggu belakangan.
Sedikit flash back, lima minggu yang lalu (tepatnya tanggal 7 November 2012) saya terbang meninggalkan Jakarta di pagi buta – flight pertama pukul 06:00 ke Bali. Setelah itu saya menikmati hari demi hari yang kadang penuh petualangan, kadang penuh ketenangan. Melipir dari pulau Bali ke Lombok, menjajal fisik dan mental ke ketinggian gunung Rinjani, snorkeling santai di Gili Trawangan, menyaksikan pawai budaya Festival Moyo 2012 di Sumbawa, bersantai di Pulau Moyo, menanam pohon dan terumbu karang di Calabai, mencicipi susu kuda liar di Dompu, melewati Bima terus ke Sape, menyeberang ke Labuan Bajo, menengok komodo di Pulau Komodo, melihat sawah yang mirip sarang laba-laba di Ruteng, berkunjung ke Desa Bena dan Desa Luba (desa tradisional) di Bajawa dan berendam di sumber air panas Soa, mencari matahari terbit di Danau Kelimutu, kembali ke Ende untuk menunggu ferry ke Kupang, dan terakhir bersantai di Kupang sampai waktunya kembali ke Jakarta. Pffiiuuhhh... Such a short journey.. Hahahaha.. J
Tanggal 14 Desember 2012 saya tiba kembali dengan selamat – walau dalam keadaan yang agak kusam, di Jakarta. Dijemput oleh adik tercinta di Bandara Cengkareng – mungkin ia takut kakaknya nyasar atau lupa jalan pulang, proses perkenalan kembali dengan adat istiadat dan budaya kota besar Jakarta pun dimulai.
Waktu itu hari Jumat, kami (saya, adik saya, dan Marni – mobil adik saya) meninggalkan Bandara sekitar pukul 16:00 WIB. Macet? Gak usah ditanya. Sekarang sepertinya ‘tidak macet’ adalah sesuatu yang di atas normal bagi Kota Jakarta. Jadi di sanalah kami, di tengah kemacetan tol Bandara, beringsut sedikit demi sedikit seperti siput di antara siput-siput lainnya. Tiba-tiba terdengar sirine yang cukup mengganggu, itulah voorider rombongan entah siapa yang memaksa meminta jalan. Adik saya yang sudah bete sedari tadi seketika emosinya melonjak naik dan tidak punya niat sama sekali memberi jalan. “Gue juga pengguna jalan! Gue bayar tol! Enak aja nyuruh-nyuruh gue minggir!” begitulah adik saya meluapkan emosinya di sebelah saya. Tapi apa daya motor besar itu begitu mengintimidasi dan akhirnya berhasil memberikan jalan leluasa bagi iring-iringan mobil di belakangnya. Sekali lagi adik saya “nge-rap” di belakang kemudi. Lalu setiap kali adik saya berusaha masuk ke dalam barisan dan tidak diberi jalan, ia langsung mengumpat “Pelit! Biarin aja kalo pelit nanti kuburannya sempit!”. Setelah lepas jauh dari jalan tol, ada seorang laki-laki yang menyebrang jalan dan hampir terkena moncongnya Marni. Adik saya menekan klakson dengan marah. Lalu mereka (adik saya dan si penyeberang jalan) saling beradu besar bola mata. Tentu saja adik saya kalah (matanya sama sipitnya seperti saya) tapi kilatan yang terpancar dari matanya seakan berkata “don’t mess with this girl!”. Hahahaha...
Sebenarnya saya sedikit shock melihat adik saya sekeras itu – seperti Tyranosaurus belum buka puasa. Tapi saya hanya bisa duduk diam di bangku penumpang dan terbengong-bengong seperti orang ling-lung. Setiap kali adik saya mengumpat marah, dalam hati saya hanya berkata “ya ampun, harus ya marah-marah sampe segitunya??”
Saya merasa “tersesat” di ibu kota. Yah, mungkin saya memang telah lupa seberapa besar tekanan hidup di Jakarta. Mungkin saya telah lupa bahwa tinggal di Jakarta memang harus galak biar gak digalakin orang. Mungkin saya pun telah lupa bahwa di Jakarta kita tidak boleh lemah apalagi ngalah, sebab kalau kita ngalah maka kita akan mati terinjak atau diinjak. Jadi ingat jargon yang sempat terkenal pada jaman dahulu dan sepertinya masih relevan hingga sekarang: ‘Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri’.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu sebelum saya meninggalkan Jakarta, saya juga sekeras itu? Jika iya, betapa saya bersyukur sempat meninggalkan semua itu, walau hanya sementara. Dan mari kita lihat berapa lama yang Jakarta butuhkan untuk membuat saya kembali menjadi insan Jakarta yang keras!

[Cileungsi, 16 Desember 2012] 

1 comment:

  1. Dear all yang membaca post ini, perkenalkan saya si adik yang diceritakan di atas. tapi sebetulnya saya manis kok, boleh diicip :P
    Oh baydeway, sikap keras itu menular. so be careful Jakartans ;)

    ReplyDelete