Miris rasanya membaca atau
mendengar berita tentang tawuran antar pelajar. Apalagi kalau sampai memakan
korban jiwa. Tidak terbayangkan perasaan orang tua korban tawuran yang mungkin
sudah susah payah menyekolahkan anak mereka dengan harapan suatu hari nanti
bisa jadi “orang”, jadi kebanggaan keluarga, atau setidaknya mampu berdiri di
atas kedua kakinya sendiri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, anak yang
dihujani harapan tersebut mati konyol di tangan anak-anak sebayanya, atas dasar
entah apa.
Peristiwa mengenaskan tersebut
membuat saya menengok ke belakang. Apa yang saya lakukan dulu saat saya seusia
mereka? Apakah saya terlihat sama seperti mereka? Bagaimana tawuran di mata
saya waktu itu?
Seperti sebagian besar dari kita,
saya pernah juga SMA. Dan kadang saya juga melihat tawuran. Tapi beruntung
sekolah tempat saya belajar bukan peserta aktif tawuran antar sekolah. Meski
pernah juga kami tawuran dengan sesama penghuni sekolah, kakak kelas. Tapi yah,
hanya sebatas kejar-kejaran di sekitar sekolah, dengan ending kami semua dikejar oleh Guru BP. Hehehe…
Di mata anak-anak STM atau SMA
lain, kami mungkin terlihat culun, cupu kata anak sekarang. Karenanya tidak
pernah ada sekolah lain yang menantang kami untuk tawuran. Tapi yang sebenarnya
terjadi adalah mereka tidak berani mengganggu kami. Karena walaupun penampilan
kami cupu, setiap hari bawa gunungan buku, tapi mereka tahu kami bisa jadi
sangat berbahaya.
Kami adalah anak-anak yang
kesehariannya berkutat dengan bahan-bahan kimia. Kami bisa saja membuat sebuah
bom sederhana, atau paling tidak kami punya larutan asam pekat yang akan
memakan apapun yang dikenainya. Kalau sampai kami harus turun ke jalan (baca:
tawuran), maka saat anak-anak dari STM membawa parang, celurit, samurai, atau gir
bersabuk, kami cukup membawa pistol air yang berisi asam pekat. Dijamin kami
pasti menang! Tapi tolong jangan dicontoh ide konyol ini ya adik-adik.
Percayalah, mendapatkan asam pekat itu tidak semudah mendapatkan asam cuka.
Anyway, tawuran antar pelajar telah menarik perhatian banyak pihak.
Bola panas dilemparkan ke sana ke mari mencari siapa yang harus bertanggung
jawab atas trend brutal tersebut. Katanya ini adalah tanggung jawab Sekolah dan
para Guru, ada juga yang bilang ini tanggung jawab pemerintah terutama Dinas
Pendidikan yang dianggap gagal menciptakan sistem pendidikan yang
berperikemanusiaan. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan bahwa masyarakat juga
ikut bertanggung jawab karena membiarkan hal berbahaya itu terjadi di depan
mata. Media yang tidak mendidik dan kerap menampilkan kekerasan juga ikut
dipersalahkan atas pengaruhnya yang sangat kuat pada mereka. Orang tua atau
pihak keluarga dari anak-anak yang tawuran (termasuk korbannya) juga tidak
luput dari tudingan tidak mampu mendidik anak-anak mereka.
Lalu bagaimana dengan anak-anak
itu sendiri? Anak-anak yang berlarian sambil membawa senjata tajam atau
mengambil dan melemparkan batu-batu di jalan? Anak yang berhasil lari lebih cepat
dari lawannya dan dengan tangannya sendiri menebas atau menikam atau memukul
anak lain yang dianggap musuhnya. Apakah mereka tidak bisa disalahkan?
Kita sepertinya sepakat bahwa apa
yang anak-anak itu lakukan adalah tanggung jawab orang-orang yang ada di
sekitarnya, termasuk dalam lingkup lebih luas, tanggung jawab Negara yang
ditinggalinya. Mengapa harus begitu? Padahal secara usia mereka sudah bukan
anak-anak lagi, mereka sudah remaja (bila tidak bisa dibilang dewasa). Bukankah
seharusnya di usia tersebut mereka sudah bisa membedakan yang baik dan yang
buruk? Mereka sudah tahu dan paham bahwa menyerang orang lain apalagi sampai
menyebabkan kehilangan nyawa adalah sebuah kejahatan dan tidak sepatutnya
dilakukan. And they do it anyway, in a mob…
Seorang pelajar yang diduga
bertanggung jawab atas kematian salah satu korban tawuran dan kemudian
tertangkap mengaku PUAS telah membunuh pelajar lain yang ia anggap sebagai lawannya.
Dia PUAS! Dan saya yakin kita semua lemas mendengarnya. Ini jelas sebuah
kejahatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan niat. Niat untuk membunuh
dan kepuasan setelah berhasil itu datang dari seorang anak usia sekolah menengah.
Apa yang Anda pikirkan?
Jika kita menganalogikan fenomena
ini menjadi sebuah bagan piramida seperti “Piramida Kecelakaan” yang biasa
digunakan oleh divisi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) sebuah perusahaan,
maka kita akan mendapat gambaran sebagai berikut:
Dalam piramida kecelakaan, puncak
piramida ditempati oleh Fatality atau
kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian. Di bawahnya adalah kecelakaan yang
mengakibatkan Lost Time atau
kehilangan waktu kerja tapi tidak menyebabkan kematian. Di bawahnya lagi adalah
kecelakaan yang terjadi tapi tidak menyebabkan lost time maupun fatality.
Di bawahnya lagi adalah Near Miss
atau kejadian hampir kecelakaan, tapi tidak menyebabkan kecelakaan, hanya
nyaris celaka (dalam dunia K3, semua hal ini idealnya tercatat dan terukur).
Dan yang paling bawah adalah Unsafe Acts
and Unsafe Condition yaitu keadaan tidak aman (tempat, alat, prosedur,
sistem kerja) dan tidakan tidak aman.
Satu kali tindakan tidak aman
dilakukan dalam pekerjaan mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa. Tapi jika
tindakan tidak aman itu terus dilakukan maka suatu hari near miss pasti terjadi. Demikian juga near misses yang dibiarkan akan menyebabkan insiden, begitu
seterusnya hingga suatu hari semua keadaan itu akan menyebabkan satu kematian.
Dengan kata lain, satu fatality
adalah akibat dari banyaknya tindakan tidak aman yang terus menerus dilakukan.
Nah, demikian kita bisa melihat
fenomena adanya kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelajar dianalogikan
dalam piramida. Pemerintahan sebagai fondasi dari piramida memegang peranan
penting dalam penciptaan seorang kriminal muda. Ignorance yang berkelanjutan dari bawah menyebabkan
kegagalan-kegagalan elemen di atasnya hingga mencapai puncak piramida.
Tapi perbaikan yang harus
dilakukan tetap dimulai dari pribadi si anak sendiri. Ia adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan dengan tangannya
sendiri. Kemudian keluarga sebagai lingkaran yang paling dekat dengan dirinya
seharusnya bisa memberikan pengaruh yang baik. Disusul dengan institusi sekolah
dan masyarakat, termasuk media. Kemudian pemerintah sebagai otoritas penyusun
sistem pendidikan. Ini adalah PR bersama, dan sudah seharusnya dikerjakan
bersama-sama pula.