Tulisan
ini saya persembahkan untuk saudara senasib sekendaraan, para pengguna jasa
transportasi TransJakarta. Tulisan ini dibuat bukan untuk memprotes, menyindir,
apalagi menghina pihak manapun. Sungguh, tulisan ini murni iseng belaka sebagai
hasil dari kontemplasi selama berada dalam kondisi semacam meditasi saat
menunggu diciduk oleh bis-bis besar itu.
Tahukah
kalian bagaimana penampakan kalian tatkala menunggu bis berbahan bakar gas
tersebut datang wahai para penumpang yang tehormat? Mungkin Anda terlalu sibuk
merutuki keadaan atau masih memikirkan pekerjaan selagi menunggu, sehingga
tidak sempat membayangkan wajah Anda sendiri. Lain halnya dengan saya yang
tidak pernah sibuk memikirkan apapun, sehingga hal-hal yang tidak penting pun
jadi kepikiran. Tapi baiklah akan saya tunjukkan saja bagaimana wajah antrian bis TransJakarta (TJ) pada
jam-jam sibuk.
Lima
menit pertama. Wajah masih oke, bedak masih rata, kepala dan badan masih
goyang-goyang dikit ngikutin irama musik dari ear phone masing-masing. Bibir juga masih bisa senyum biar keliatan
ikhlas naik TJ. Masih ada harapan bahwa hari ini akan jadi hari baik kita dalam hal transportasi.
Harapan bahwa bis TJ yang kita tunggu-tunggu akan segera muncul sebelum antrian ini
berubah jadi lautan manusia berbagai aroma.
Lima
menit kedua, kendaraan yang ditunggu tak kunjung datang. Resah dan gelisah
mulai hinggap. Pertanyaan “sanggup gak
nih gue bertahan lebih lama lagi di sini?” Sementara semut-semut mulai terasa
merambati kaki. Titik-titik peluh mulai menetas satu persatu di dahi, leher, punggung, tangan, dan kaki. Not to mention, in the armpit. Barisan
yang tadinya renggang mulai merapat. Senyum mulai lenyap berganti garis datar
di bibir.
Lima
menit ketiga, bis gagah jurusan yang kita mau belum datang
juga. Tambah kesel karena banyak bis yang lewat tapi cuma ngangkut penumpang
jurusan tetangga sebelah. Penyesalan mulai muncul. “Akh, harusnya tadi gue keluar dari kantor lebih cepet.” Atau “Harusnya tadi
gue nunggu maleman aja pulangnya biar agak sepi.”
Lima
menit keempat. Bedak mulai luntur. Semut yang
tadinya cuma merayap di kaki mulai merambat naik ke betis sampe dengkul,
kesemutan kronis. Sementara crowd
mulai makin rapat, keringet yang tadinya baru menyembul satu-satu dari
pori-pori mulai meleleh di kulit. Belum lagi lelehan keringat dari tetangga
sebelah, euuww!!
Lima
menit kelima. Bis yang ditunggu nekat gak datang-datang. Di
sinilah ujian kesabaran yang sebenarnya. Bibir yang tadinya datar,
ujung-ujungnya mulai bergerak turun. Wajah kita menjelma sesuatu yang menakutkan,
sangar, semacam senggol-bacok! Rasanya pingin marah tapi
gak tahu mau marah sama siapa. Alhasil ada yang marah-marah sama petugas
Transjak atau ke sesama calon penumpang
yang entah bagaimana jadi sangat menyebalkan.
Lima menit keenam, petugas TransJak mengumumkan bahwa
kemacetan parah terjadi di salah satu ruas jalan yang dilalui sehingga
mengakibatkan bis datang terlambat. Beberapa orang mulai menyerah dan keluar
dari antrian, mencoba moda transportasi lain semisal ojek atau taksi. Namun
sebagai orang yang pantang menyerah (sebaiknya pikirkan kembali pilihan sikap
ini), kita berusaha tetap tegak berdiri tak goyah dalam antrian. Lagipula
tanggung, sudah terlanjur menunggu selama ini. Kalau mau menyerah sih harusnya
dari tadi.
Lima menit ketujuh, menjerit, tapi hanya dalam hati saja. Pengen nangis
tapi malu. Hanya bisa menggeram pelan.
Lima
menit kedelapan. Mati rasa.
Lima menit kesembilan. Cari-cari alasan untuk tidak masuk kantor esok hari.
Lima menit kesepuluh. Bis datang. Tarik nafas panjang. Dekap barang-barang
bawaan. Pasang kuda-kuda. Bersiap sikut-sikutan dengan sesama calon penumpang.
Compete for your life!
******
Dua puluh menit kemudian...
Ting! Pemberhentian
berikutnya, halte Pejaten. Perhatikan barang bawaan Anda dan hati-hati
melangkah. Terima kasih.
Next stop, Pejaten
shelter. Check your belongings and step carefully. Thank you.