Monday, March 25, 2013

Tambora yang Mendunia (Series of Calabai)


Dalam perjalanan ke timur mencari kitab suci dan menyelamatkan sang putri, saya sempat singgah di salah satu desa yang ada di pulau Sumbawa Besar. Desa tersebut bernama Calabai. Kemungkinan besar tidak banyak pengembara yang mengetahui tentang desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pekat – Kabupaten Dompu – Propinsi Nusa Tenggara Barat ini karena memang belum banyak promosi yang mengangkat desa ini sebagai salah satu tujuan wisata nasional.

Di balik kesederhanaan Calabai, sesungguhnya desa ini adalah pintu gerbang menuju tempat-tempat eksotik nusantara. Salah satunya adalah Gunung Tambora, gunung api yang kawahnya berdiameter 7 km. Saking besarnya gunung ini sampai posisinya mencakup dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Konon, sebelum meletus tinggi Gunung Tambora mencapai 4.300 mdpl, menjadikannya sebagai gunung api aktif tertinggi kedua di Indonesia setelah Puncak Jaya (Carstensz Piramid di 4.884 mdpl). Namun letusan dahsyat di tahun 1815 menghilangkan separuh gunung tersebut, menyisakan tinggi 2.851 mdpl dan menghasilkan kaldera yang menganga selebar 7.000 meter kurang lebih.

Hampir 200 tahun yang lalu seluruh dunia terkena dampak letusan dari gunung api tertinggi kedua di Indonesia ini. Letusannya memuntahkan lava panas bersama gas mematikan dan menewaskan sekitar 17.000 orang. Itu baru permulaannya, selanjutnya beberapa belahan bumi tidak mengalami siang karena 400 juta ton gas sulfur menguasai langit hingga mencapai 27 mil tegak lurus ke stratosfer dan menyebabkan gelap gulita sepanjang hari. Abu dan debu dari letusan Gunung Tambora melayang mengelilingi dunia, menyobek lapisan tipis ozon, dan menetap di lapisan troposfer yang beberapa tahun kemudian turun kembali ke bumi melalui angin dan hujan. Hujan tanpa henti selama delapan minggu memicu epidemi tifus dan menewaskan 65.000 orang di Inggris. Nah, tidak berlebihan kiranya jika ada yang menyebut ‘letusan Tambora mendunia’ (Agnes would say ‘Go International’)

Atas dasar sejarah itulah maka mendaki Gunung Tambora yang tinggal setengahnya sepertinya menjadi hal yang pantas atau perlu dilakukan. Dan seperti kisanak duga, salah satu pintu masuk ke gunung Tambora ini adalah melalui desa Calabai. Menurut pendekar-pendekar pendakian di Calabai yang tergabung dalam padepokan Pecinta Alam GAMPING, waktu tempuh naik-turun Tambora yang ideal dengan menikmati perjalanan dan pemandangan adalah 3 hari 2 malam. Tapi tentu saja waktu tempuh ini bisa dipotong jadi satu hari jika kisanak hanya bermaksud naik-turun tanpa tidur, atau malah bisa diperpanjang hingga satu minggu jika kisanak bermaksud mendalami ilmu bertahan hidup. Trek yang mereka janjikan adalah trek mudah, jalan setapak mendaki di antara lebat hutan tropis dan savana sesekali. Katanya, jika kisanak telah melalui trek Rinjani, maka trek Tambora bukanlah apa-apa. Ah, mengapa pula bandingannya Rinjani, sesal saya dalam hati.

Dan tidak lengkap rasanya cerita hutan dan gunung tanpa cerita mistis. Tersebutlah pendekar sakti mandraguna yang akrab disapa Om Cin (dari Cindai). Beliau sempat menceritakan kepada saya pula hikayat mengenai namanya, sayang saya tidak merekamnya dan sekarang saya lupa. Tapi, apalah arti sebuah nama? Dengan nama apapun, aura kesaktian Om Cin tetap saja sekuat aroma masakan lezat tengah hari di bulan puasa. Bahkan seluruh pendekar GAMPING pun mengakuinya. Om Cin telah keluar-masuk hutan, naik-turun Tambora sejak usia muda, sejak rambutnya masih gondrong dan gimbal. Beliau mengetahui persis seluk beluk gunung tersebut dan telah berkawan pula dengan para ‘penjaga’ Tambora. Ah, saya pun lupa bagaimana persisnya cerita-cerita seram di Tambora. Tapi sepertinya setiap gunung punya cerita yang kurang lebih sama saja. Pesan beliau, selama niat kita untuk ‘muncak’ (istilah pendekar Calabai untuk naik gunung) adalah baik, Insya Allah kita akan selamat.

Sayang sekali saat itu saya tidak berjodoh dengan gunung ini. Meskipun telah menghabiskan waktu bersemadi satu minggu di Calabai, saya tidak mendapat kesempatan untuk merayapi lereng-lerengnya. Yah, menyesal sebetulnya, tapi mungkin ini adalah pertanda bahwa saya harus kembali ke Calabai lain kali. Mungkin sambil mencari kitab suci lagi, atau malah tongkat sakti.

Oh iya, tahun 2015 akan ada perayaan (atau peringatan) 200 tahun meletusnya Tambora. Teman-teman padepokan GAMPING mengharap saya mau berlayar kembali dari pulau Jawa ke Calabai demi turut merayakan (atau memperingati) hari bersejarah itu. Bulan April 2015 jika saya tidak lupa, akan ada banyak kegiatan di sekitar desa Calabai dan Tambora berkenaan dengan peringatan ini. Kemungkinan besar GAMPING juga akan mengadakan pendakian massal ke Gunung Tambora. Jadi, jika kisanak berminat merayapi lereng gunung bersejarah ini dan melihat langsung kaldera selebar 7 km itu, saya anjurkan kisanak membuat kapal dari sekarang.

Dari Pulau Jawa kisanak dapat mendayung atau berlayar hingga Calabai atau naik pesawat terbang dengan tujuan Bima. Dari Bima kisanak boleh menumpang bis dengan tujuan Dompu, dan dari Dompu kisanak boleh menumpang bis lain lagi menuju Calabai. Saya tidak tahu berapa lama penerbangan dari Jakarta ke Bima, tapi dari Bima ke Dompu memakan waktu tempuh sekitar 2 jam, sedangkan dari Dompu ke Calabai memakan waktu sekitar 4 jam. Dengan dayung dari Pulau Jawa? *kalkulator error*

Kaldera Gunung Tambora
(Photo courtesy of Bang Chris)

Catatan tentang Calabai belum selesai sampai di sini. Nantikan kisah-kisah selanjutnya.

No comments:

Post a Comment