Dalam
perjalanan ke timur mencari kitab suci dan menyelamatkan sang putri, saya
sempat singgah di salah satu desa yang ada di pulau Sumbawa Besar. Desa
tersebut bernama Calabai. Kemungkinan besar tidak banyak pengembara yang
mengetahui tentang desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pekat – Kabupaten
Dompu – Propinsi Nusa Tenggara Barat ini karena memang belum banyak promosi yang
mengangkat desa ini sebagai salah satu tujuan wisata nasional.
Di balik
kesederhanaan Calabai, sesungguhnya desa ini adalah pintu gerbang menuju
tempat-tempat eksotik nusantara. Salah satunya adalah Gunung
Tambora, gunung api yang kawahnya berdiameter 7 km. Saking besarnya gunung
ini sampai posisinya mencakup dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu dan
Kabupaten Bima. Konon, sebelum meletus tinggi Gunung Tambora mencapai 4.300
mdpl, menjadikannya sebagai gunung api aktif tertinggi kedua di Indonesia
setelah Puncak Jaya (Carstensz Piramid di 4.884 mdpl). Namun letusan dahsyat di
tahun 1815 menghilangkan separuh gunung tersebut, menyisakan tinggi 2.851 mdpl
dan menghasilkan kaldera yang menganga selebar 7.000 meter kurang lebih.
Hampir 200 tahun yang lalu
seluruh dunia terkena dampak letusan dari gunung api tertinggi kedua di
Indonesia ini. Letusannya memuntahkan lava panas bersama gas mematikan dan
menewaskan sekitar 17.000 orang. Itu baru permulaannya, selanjutnya beberapa
belahan bumi tidak mengalami siang karena 400 juta ton gas sulfur menguasai
langit hingga mencapai 27 mil tegak lurus ke stratosfer dan menyebabkan gelap
gulita sepanjang hari. Abu dan debu dari letusan Gunung Tambora melayang
mengelilingi dunia, menyobek lapisan tipis ozon, dan menetap di lapisan troposfer
yang beberapa tahun kemudian turun kembali ke bumi melalui angin dan hujan.
Hujan tanpa henti selama delapan minggu memicu epidemi tifus dan menewaskan
65.000 orang di Inggris. Nah, tidak berlebihan kiranya jika ada yang menyebut ‘letusan
Tambora mendunia’ (Agnes would say ‘Go
International’)
Atas
dasar sejarah itulah maka mendaki Gunung Tambora yang tinggal setengahnya
sepertinya menjadi hal yang pantas atau perlu dilakukan. Dan seperti kisanak
duga, salah satu pintu masuk ke gunung Tambora ini adalah melalui desa Calabai.
Menurut pendekar-pendekar pendakian di Calabai yang tergabung dalam padepokan
Pecinta Alam GAMPING, waktu tempuh naik-turun Tambora yang ideal dengan
menikmati perjalanan dan pemandangan adalah 3 hari 2 malam. Tapi tentu saja
waktu tempuh ini bisa dipotong jadi satu hari jika kisanak hanya bermaksud
naik-turun tanpa tidur, atau malah bisa diperpanjang hingga satu minggu jika kisanak bermaksud mendalami ilmu bertahan hidup. Trek yang mereka janjikan adalah trek mudah, jalan
setapak mendaki di antara lebat hutan tropis dan savana sesekali. Katanya, jika
kisanak telah melalui trek Rinjani, maka trek Tambora bukanlah apa-apa. Ah, mengapa pula bandingannya Rinjani,
sesal saya dalam hati.
Dan
tidak lengkap rasanya cerita hutan dan gunung tanpa cerita mistis.
Tersebutlah pendekar sakti mandraguna yang akrab disapa Om Cin (dari Cindai).
Beliau sempat menceritakan kepada saya pula hikayat mengenai namanya, sayang
saya tidak merekamnya dan sekarang saya lupa. Tapi, apalah arti sebuah nama?
Dengan nama apapun, aura kesaktian Om Cin tetap saja sekuat aroma masakan lezat
tengah hari di bulan puasa. Bahkan seluruh pendekar GAMPING pun mengakuinya. Om
Cin telah keluar-masuk hutan, naik-turun Tambora sejak usia muda, sejak
rambutnya masih gondrong dan gimbal. Beliau mengetahui persis seluk beluk
gunung tersebut dan telah berkawan pula dengan para ‘penjaga’ Tambora. Ah, saya
pun lupa bagaimana persisnya cerita-cerita seram di Tambora. Tapi sepertinya
setiap gunung punya cerita yang kurang lebih sama saja. Pesan beliau, selama
niat kita untuk ‘muncak’ (istilah pendekar Calabai untuk naik gunung) adalah
baik, Insya Allah kita akan selamat.
Sayang
sekali saat itu saya tidak berjodoh dengan gunung ini. Meskipun telah
menghabiskan waktu bersemadi satu minggu di Calabai, saya tidak mendapat
kesempatan untuk merayapi lereng-lerengnya. Yah, menyesal sebetulnya, tapi
mungkin ini adalah pertanda bahwa saya harus kembali ke Calabai lain kali. Mungkin
sambil mencari kitab suci lagi, atau malah tongkat sakti.
Oh iya,
tahun 2015 akan ada perayaan (atau peringatan) 200 tahun meletusnya Tambora. Teman-teman
padepokan GAMPING mengharap saya mau berlayar kembali dari pulau Jawa ke
Calabai demi turut merayakan (atau memperingati) hari bersejarah itu. Bulan April
2015 jika saya tidak lupa, akan ada banyak kegiatan di sekitar desa Calabai dan
Tambora berkenaan dengan peringatan ini. Kemungkinan besar GAMPING juga akan
mengadakan pendakian massal ke Gunung Tambora. Jadi, jika kisanak berminat merayapi lereng gunung bersejarah ini dan melihat langsung kaldera selebar 7 km itu, saya anjurkan kisanak membuat kapal
dari sekarang.
Dari
Pulau Jawa kisanak dapat mendayung atau berlayar hingga Calabai atau naik
pesawat terbang dengan tujuan Bima. Dari Bima kisanak boleh menumpang bis
dengan tujuan Dompu, dan dari Dompu kisanak boleh menumpang bis lain lagi
menuju Calabai. Saya tidak tahu berapa lama penerbangan dari Jakarta ke Bima,
tapi dari Bima ke Dompu memakan waktu tempuh sekitar 2 jam, sedangkan dari
Dompu ke Calabai memakan waktu sekitar 4 jam. Dengan dayung dari Pulau Jawa?
*kalkulator error*
Catatan tentang Calabai belum selesai sampai di sini. Nantikan
kisah-kisah selanjutnya.